Tan Joe Hok – The Giant Killer

Hampir setengah abad yang lalu, nama Tan Joe Hok dielu-elukan sebagai pahlawan yang mengharumkan nama Tanah Air di seluruh dunia. Ia pemain bulu tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain (Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie), Tan Joe Hok juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air.


Karena keberhasilannya menundukkan jago-jago dunia, media dunia menjuluki Tan Joe Hok dengan sebutan "The Giant Killer" (Pembunuh Raksasa). Ini pula yang menjadi salah satu pemicu yang memotivasi dirinya untuk terus mengukir prestasi. Namun di balik kesuksesan itu, Tan Joe Hok sendiri menyebut dirinya sebagai rumput liar yang harus mampu hidup di segala kondisi.

Tan Joe Hok, anak kedua dari enam bersaudara yang lahir pada tahun 1937, berasal dari keluarga yang ekonominya serba kekurangan. Untuk membeli beras saja, keluarganya harus mengantre. Tidak hanya itu, mereka pun harus mengungsi berkali-kali. Di masa berpindah-pindah tempat tinggal inilah, Tan Joe Hok mulai menumbuhkan benih ketertarikan terhadap permainan bola berbulu angsa.

Awalnya ia hanya berperan sebagai anak pembawa kok dan raket saja saat menonton keluarga dan tetangganya asyik bermain bulu tangkis, tapi lama-kelamaan dia mulai ikut serta sebagai pemain. Keinginannya itu pun tak surut meski dirinya tak punya raket. "Tak ada rotan, akar pun jadi", begitulah yang dilakukan Tan Joe Hok. Dia menjadikan kelom (sandal dari kayu) milik ibunya sebagai pengganti raket. Kok yang digunakan pun bekas yang hanya tersisa tiga lembar bulu.

Berbekal alat sederhana itu, Tan Joe Hok terus berlatih. Ternyata banyak yang memuji kemampuan dia bermain bulu tangkis. Hingga suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung saat itu, mengajaknya bergabung dengan Blue White. Klub bulu tangkis terkuat di Bandung ini adalah cikal-bakal Klub Mutiara. Peluang emas ini pun tak disia-siakan Tan Joe Hok. Setiap hari dia berlatih sejak jam lima pagi. Dari sinilah kariernya sebagai pemain bulu tangkis terus melesat hingga ke tingkat nasional dan internasional. Kemenangan yang paling tak terlupakan Tan Joe Hok adalah saat merebut Piala Thomas bagi Indonesia untuk pertama kalinya. Tim Piala Thomas yang dikenal sebagai "The Seven Magnificent" itu pun disambut meriah dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, dan disiarkan di radio.

   
Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, Tan Joe Hok bertemu dengan Ismail bin Mardjan, salah satu juara ganda All England asal Malaya yang tinggal di Singapura. Perjalanan selama lebih dari setengah bulan itu menjadikan mereka bagai kakak-beradik. Karena itu, Ismail sempat memberi sedikit nasihat padanya, "Joe Hok, kamu bisa jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya."

Nasihat Ismail ini baru dipahami ketika Tan Joe Hok melihat dengan mata kepala sendiri betapa kumuhnya tempat tinggal Ismail. Untuk menyambung hidup pun, Ismail harus bekerja sebagai satpam. Melihat semua itu, Tan Joe Hok bertekad mengikuti kata-kata Ismail karena dia ingin hidup lebih layak dan tidak selamanya menjadi pemain bulu tangkis. Dia memutuskan menggantung raket setelah meraih kemenangan di kejuaraan All England di Kanada dan Amerika Serikat. Dia beserta keluarga langsung menuju Texas, Amerika, karena mendapat beasiswa kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology. Selain menimba ilmu, dia pun harus bekerja serabutan demi membiayai biaya hidup sehari-harinya di negeri orang.

Namun, pada tahun 1961 Tan Joe Hok dipanggil untuk kembali membela Tanah Air di lapangan bulu tangkis. Dia pun berhasil mempertahankan Piala Thomas di Jakarta. Setelah meraih kemenangan, Tan Joe Hok mendapat tanda jasa Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bahkan, Bung Karno sempat berkata-kata begini, "Saya bangga; banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari. I will give you a scholarship."

Ketika Tan Joe Hok kembali ke Amerika untuk kuliah, dia menerima surat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai US$1.000. Saat itu uang segitu sangat besar nilainya. Mungkin inilah bentuk pemenuhan janji yang pernah diungkapkan Presiden Soekarno pada Tan Joe Hok. Akhirnya karena merasa tak berhak menerima apalagi dia sudah berkuliah gratis di Baylor University dan bisa mencari uang dengan bekerja di kampus, Tan Joe Hok pun memutuskan untuk mengembalikan uang itu. Baginya, menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada sejumlah uang.

Tan JoeHok (kanan), bersama atlet bulu tangkis Taufik Hidayat dalam salah satu aktivitasnya
Kini setelah puluhan tahun berlalu dan saat dirinya sudah memasuki usia senja, Tan Joe Hok tetap giat beraktivitas. Dia menghabiskan masa tua dengan berbagai kegiatan: menonton berita di televisi kabel, belajar bahasa asing, dan memotret. Dia pun aktif di Komunitas Bulu Tangkis Indonesia, sebuah wadah berkumpulnya mantan atlet dan pengurus. Di sinilah Tan Joe Hok giat membantu teman-teman sesama atlet yang masa tuanya kurang beruntung, sakit-sakitan, dan kehabisan uang.
Sungguh luar biasa kisah hidup Tan Joe Hok. Dari muda hingga masa tuanya, dia menjalani hidup tidak hanya demi dirinya sendiri tapi juga demi orang lain. Perjuangan hidupnya pun patut diacungi jempol dan layak diteladani.

Sumber : andriewongso.com