“Tetap Bekerja” Versus Pekerja

Suatu hari saya merasa gelisah dengan masa depan, utamanya menyangkut “PEKERJAAN”. Saya jujur, bahwa saya tak suka duduk di kantor. Saya juga tak begitu menyukai aturan di sebuah perusahaan, yang mewajibkan karyawannya “taat waktu” — harus masuk jam 8 atau lebih. Entah ini karena pengaruh kemalasan atau saya termasuk orang yang bertipe “bebas”.
Saya selalu gagal kalau dalam seminggu, 5 hari harus “on time” masuk ke kantor. Inilah yang mungkin menyebabkan saya selalu gagal membangun karir pekerjaan di sebuah perusahaan atau instansi.
Saya sejak kecil selalu diajari oleh ibu saya untuk menjadi “orang bebas”. Sebab dengan menjadi orang bebas, saya tidak akan menjadi seorang “budak”, yang hidup di bawah telunjuk orang lain. Ibu saya memang betul, bahwa suatu ketika dia pernah bilang, “Jadilah manusia bermanfaat, nak. Jangan banyak menyusahkan orang lain. Meskipun itu saudaramu sendiri.”
Betul juga kalau suatu ketika si Semar, memberikan pepatah pada anaknya tersayang, si Cepot. ” Bahwa yang penting untuk menjadi seorang manusia, kamu harus tetap bekerja. Jangan mencari pekerjaan.” Ini mengingatkan saya pada sebuah hadits dari baginda Muhammad Saw., manusia yang berkeringat dan membuat kasar telapak tangannya lebih mulia ketimbang orang yang (hanya) duduk mengharap rezeki turun dari langit.
Betul bahwa saya sekolah hingga perguruan tinggi. Namun, ijazah yang saya gunakan untuk melamar pekerjaan hanya dua lembar hingga sekarang. Selain itu, saya bekerja tanpa mengandalkan ijazah. Saya selalu mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa “rezeki” tak terkira, yang kadang susah diprediksi dan dikalkulasi secara logis matematis. Saya masih yakin bahwa rezeki-Nya tak pernah berhenti mengalir kepada setiap manusia. Selalu saja ada yang harus dikerjakan sesuai kemampuan kita.
Bekerja bagi saya — yang kerap disebut nglunjak dan freeman — tidak harus pergi ke kantor setiap pagi dan pulang pada sore hari. Saya tidak menyukai rutinitas yang membosankan kehidupan. Tak apalah bila kau bilang bahwa saya seorang pengangguran. Toh, hingga saat ini, saya masih bisa bertahan hidup dengan rezeki yang diberikan-Nya. Seandainya kata “pengangguran” yang menjadi daya pikat statistik pemerintah untuk menggelontorkan dana APBN, membuat Anda malu hidup; berarti Anda tidak percaya dan yakin akan Ke-Maha-Pemurahan Tuhan. Jadikanlah Tuhan sebagai Boss Anda, yang tak pernah ingin memanfaatkan kemampuan Anda untuk memperkaya diri seperti yang dilakukan para pengusaha.
Dia (Allah) telah membentuk manusia dengan potensi yang dahsyat dalam diri manusia. Dia tak akan pernah membiarkan manusia mati kelaparan selama ada sesuatu untuk dimakan. Bagaimana dengan kelaparan yang menimpa di Somalia? Saya dan Anda jangan menyalahkan Tuhan, karena itu terjadi disebabkan egoisitas manusia yang mengaku diri sebagai pemimpin.
Semangat adalah kata kunci agar kita dapat “tetap bekerja”, melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Tanpa semangat diri, kita akan terjebak pada “nganggur tak berujung”. Kita akan selalu merasakan ketergantungan akut kepada orang lain. Kita akan menjadi “sapi perah” yang selalu tunduk dan patuh pada kondisi. Umat Islam — saya dan Anda — memang harus “tetap bekerja”. Karena dengan “tetap bekerja” kita dapat keluar dari kondisi untuk mengubah dunia.
Bukan “bekerja”, ya. Ingat, “tetap bekerja” dalam hidup Anda. Selain mengubah hidup dan dunia, “tetap bekerja” mampu menciptakan “keyakinan penuh pada Tuhan”, bahwa Dia tidak pernah alfa dan lupa pada hamba-Nya.
Cemungut deh….! Ucul beud

Sumber : kompasiana.com