blocknotinspire.blogspot.com berisi Kumpulan Business Ethics, Business Tips, Inspire Spirit, Leadership and Culture , Love and Life, Management HR, Motivasi Spirit, Smart Emotion, Success Story, Tips Keuangan, Tips Marketing dan Tips Sehat Semoga Bisa Menjadikan Anda lebih SUKSES dari hari kemarin.
Kunjungi Versi Mobile KLIK http://blocknotinspire.blogspot.com/?m=1 atau ( KLIK DISINI )

Mengatasi Rasa Takut di Tempat Kerja

Takut gagal menyelesaikan tugas, takut dimarahi atasan, takut tidak dihargai, takut tidak didengar, takut dipecat. Semua rasa takut ini menghambat kenyamanan kerja, produktivitas kerja, dan kualitas kerja.
Rasa takut di tempat kerja perlu dikelola untuk meminimumkan dampak destruktifnya. Jika prosedur kerja ada aturannya, budgeting dan planning ada petunjuknya, pengukuran prestasi kerja ada tolok ukurnya, tidak demikian dengan pengelolaan rasa takut.

Pemimpin di sebuah perusahaan (dari pimpinan puncak sampai pimpinan tingkatan yang paling dekat dengan kegiatan di lapangan) seringkali tidak memperoleh petunjuk untuk mengatasi rasa takut ini. Artikel ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai alasan mengapa rasa takut di tempat kerja penting untuk dikelola, jenis-jenis rasa takut yang ada, dan strategi yang bisa diterapkan oleh seorang pemimpin untuk mengatasi rasa takut di tempat kerja.
PERLUNYA MENGATASI RASA TAKUT
Menurut para ahli psikologi, rasa takut adalah perasaan negatif yang
timbul akibat teridentifikasinya sebuah stimulus (misalnya bahaya). Rasa takut ini seringkali diikuti dengan adanya perubahan fisiologis, kognitif, dan tingkah laku (Kleinknecht, 1986). J. Gerald Suarez dalam artikelnya "Managing Fear in the Workplace" mengakui bahwa rasa takut tidak bisa dihindari, tapi bisa dikelola sehingga tidak memberikan dampak yang destruktif bagi orang yang
memiliki rasa takut tersebut, dan juga perusahaan tempat orang
tersebut bekerja.
Pengelolaan rasa takut dapat memberi kenyamanan kerja sehingga karyawan bisa bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Pengelolaan rasa takut juga penting dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, mempertahankan kualitas kerja, memacu perbaikan berkelanjutan, memotivasi terjadinya inovasi, yang tentunya semua ini diarahkan untuk mendatangkan profit yang
berkelanjutan.
Andi, seorang kepala proyek usaha konstruksi, yang takut tidak mencapai target yang telah ditetapkan, bersedia melakukan apa pun untuk menghilangkan rasa takut tersebut. Ia menekan anak buahnya untuk mem-bypass prosedur yang berlaku, menyingkat proses kerja dengan mengurangi penggunaan dan pengelolaan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, sehingga pekerjaan bisa dikerjakan dengan lebih
cepat dan dengan biaya yang dapat ditekan serendah mungkin. Secara
membabibuta semua ini dilakukan untuk memenuhi target sehingga ia terhindar dari rasa takut "dimarahi", "dipermalukan", dan "dipecat'. Namun, tindakan yang tidak sesuai prosedur ini tentu saja dapat membahayakan bangunan yang sedang dikerjakan. Akibatnya, jika bangunan tidak dikerjakan menurut prosedur yang ditetapkan dengan bahan-bahan yang lengkap, bahaya akan mengancam, tidak hanya bagi klien tetapi juga bagi perusahaan dan masyarakat umum pemakai gedung.
Dari kasus Andi dapat terlihat bahwa rasa takut menghilangkan kenyamanan kerja, membatasi komunikasi antara pimpinan dan anak buah, dan antara sesama karyawan, Rasa takut juga memacu tindakan negatif
(pemberontakan, persaingan tidak sehat, dan tindakan menyenangkan
pimpinan dengan risiko apa pun, termasuk risiko yang merugikan sesama rekan kerja, dan juga pelanggan). yang dilakukan untuk menghilangkan rasa takut tersebut. Walalupun sering tidak terasa, rasa takut merupakan faktor destruktif yang bisa seara diam-diam membunuh kualitas kerja, kreativitas, dan inovasi.
JENIS-JENIS RASA TAKUT
Keberanian muncul bukan karena ketiadaan rasa takut, keberanian
timbul karena adanya kemampuan mengelola rasa takut. Langkah pertama untuk mengelola rasa takut di tempat kerja adalah mengenali jenis-jenis rasa takut yang ada di tempat kerja. Berikut ini adalah beberapa contoh rasa takut yang ada di tempat kerja.
Takut gagal. Donny bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi. Ketika diminta untuk mengkoordinasi peluncuran produk baru, Donny menolak karena ia tidak berani mengambil risiko gagal. Akibatnya, ia tidak berani mencoba, tidak berani membuat keputusan, dan tidak berani menggunakan kreativitas dan memunculkan ide-ide inovatifnya yang merupakan kekuatan Donny selama ini.
Takut sukses. Sebaliknya, Tuti yang diajukan untuk promosi jabatan menjadi supervisor yang membawahi teman-temannya yang selama ini bekerja sama dengan dia, menolak kesempatan baik tersebut. Alasan Tuti adalah takut dimusuhi teman-temannya karena kesuksesan yang diraih.
Takut perubahan. Ketika diumumkan oleh pimpinan sebuah perusahaan akan adanya pergantian sistem dari sistem yang lebih banyak mengandalkan komunikasi lewat telepon dan komunikasi melalui surat dan dokumen, menjadi sistem komputerisasi dan web yang lebih berorientasi pada kecepatan informasi dan pengurangan kertas kerja, banyak
karyawan yang menolak. Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk
tidak mengadopsi sistem baru tersebut. Mereka takut tidak bisa menggunakan sistem baru tersebut, karena ketidaktahuan, dan juga karena sudah merasa nyaman dengan sistem yang lama sehingga mereka merasa tidak perlu lagi mempelajari sistem baru yang belum bisa
dipastikan efektivitasnya.
Takut bicara. Karena perangai atasan yang cepat naik darah, dan tidak menghargai pendapat anak buah, Nuniek menjadi takut bicara. Walaupun pimpinan menanyakan pendapatnya, tapi pendapat ini tidak pernah digubris. Akibatnya, ia tidak lagi mau memberikan pendapat, dan memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi perusahaan. Ia hanya menyetujui saja apa yang telah diputuskan, dan mengerjakan pekerjaan yang diberikan tanpa disertai rasa semangat. Jika Nuniek melakukan kesalahan pun atau menghadapi masalah, ia tidak berani mengatakannya pada atasan. Dengan berbagai cara ia mencoba menghilangkan "kesalahan" misalnya dengan menghapus data, atau membuat laporan yang "tidak benar" hanya untuk menyenangkan atasannya sehingga atasan tidak marah. Akibatnya tentu saja kualitas kerja yang tidak optimal, bahkan makin lama makin menurun sehingga merugikan perusahaan.
MENGEVALUASI RASA TAKUT
Rasa takut sulit terdeteksi secara kasat mata, karena seringkali
ditutupi oleh karyawan. Seorang pimpinan perlu melakukan evaluasi terhadap rasa takut yang ada di perusahaan ataupun di unit yang dipimpinnya sehingga ia bisa mengambil tindakan untuk mengelola rasa takut tersebut. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya penting untuk diajukan untuk membantu seorang pimpinan untuk mengevaluasi adanya rasa takut.
Identifikasi Harapan. Rasa takut muncul karena ketiadaan harapan. Untuk itu harapan perlu diciptakan dan dikenali. Berdiskusilah dengan karyawan baik secara formal dalam sebuah rapat bulanan ataupun secara tidak formal ketika sedang makan siang bersama. Misalnya Anda bisa mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Anda yakin visi dan misi perusahaan sudah dipahami dengan baik oleh karyawan, sehingga mereka juga bisa mencari kesesuaian antara visi-misi perusahaan dengan tujuan hidup mereka? Apakah Anda tahu apa yang mereka harapkan dari Anda sebagai pimpinan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu Anda jawab untuk mengenali harapan-harapan
karyawan terhadap Anda, terhadap perusahaan, dan terhadap masa depan
mereka sendiri. Harapan-harapan ini akan memberikan motivasi bagi karyawan untuk mengenal masa depan dengan lebih baik dan mengatasi rasa takut.
Identifikasi hambatan. Rasa takut juga bisa muncul karena adanya hambatan untuk mencapai prestasi. Untuk itu jawaban yang perlu Anda cari adalah: Apa yang menjadi hambatan bagi karyawan untuk mencapai target yang ditentukan? Apakah karena kurang pengetahuan, kurang keterampilan, fasilitas yang tidak memadai, ataupun target yang
terlalu tinggi ataupun waktu pencapaian yang terlalu singkat?
Identifikasi rasa percaya. Alasan lain munculnya rasa takut adalah hilangnya kepercayaan baik dari Anda sebagai pimpinan, dan juga dari karyawan. Pertanyaan-pertanyaan berikut bisa membantu untuk mengidentifikasikan apakah rasa percaya itu memang tidak ada: Apakah karyawan Anda percaya pada kemampuan Anda? Apakah Anda percaya pada kemampuan mereka? Sejauh mana Anda percaya akan kemampuan mereka? Beranikah Anda mendelegasikan beberapa hal untuk dilakukan dan diputuskan karyawan? Jika tidak, apa alasannya, dan bagaimana caranya menumbuhkan rasa percaya tersebut.
Identifikasi komunikasi. Rasa takut juga bisa muncul karena kurangnya atau terhambatnya komunikasi, dan ketidakjelasan informasi. Apakah Anda sering bersedia mendengarkan masukan dari karyawan? Apakah Anda bersedia mendengarkan masukan dari karyawan? Seberapa seringkah Anda mendapat masukan dari karyawan? Seberapa seringkah karyawan menceritakan masalah mereka pada Anda? Jawaban yang Anda temukan dari pertanyaan-pertanyaan ini memberikan gambaran mengenai komunikasi di tempat kerja. Jika memang komunikasi yang menjadi hambatan, Anda bisa mencoba untuk memperbaikinya dengan bersikap lebih terbuka dan lebih bersedia mendengarkan (bukan hanya didengarkan).
Identifikasi pelatihan. Rasa takut bisa muncul karena kurang pengetahuan dan keterampilan. Untuk itu Anda perlu mencari tahu kualifikasi karyawan untuk melakukan pekerjaan: Apakah karyawan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan? Apakah karyawan memiliki keterampilan yang dibutuhkan? Pelatihan apa yang diperlukan karyawan untuk membekali mereka agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik, sesuai dengan yang
diharapkan.
MENGELOLA RASA TAKUT
J. Gerard Suarez, PhD, pakar Total Quality Management, mengusulkan
tiga faktor yang perlu diciptakan untuk menumbuhkan lingkungan yang kondusif untuk mengelola rasa takut.
Kepemimpinan. Untuk mengelola rasa takut, seorang pemimpin perlu menciptakan kondisi lingkungan di mana karyawan dapat mengemukakan pendapat, ide, dan masalah-masalah mereka tanpa rasa takut dimarahi, disepelekan, dan direndahkan. Ciptakan forum komunikasi karyawan, adakah diskusi secara periodik dengan karyawan, berikan dorongan bagi mereka untuk menyatakan pendapat, memberikan masukan bagi kebaikan bersama. Setelah mendengar masukan dari karyawan, seorang atasan perlu menanggapi masukan tersebut secepatnya. Tanpa tindakan untuk menanggapi masukan ini, karyawan akan segan menyatakan pendapat, karena mereka merasa pendapat mereka akan sia-sia.
Kepercayaan. Faktor kedua yang penting adalah rasa percaya. Jika karyawan mengerti bahwa pimpinan mereka memberikan kepercayaan kepada mereka untuk memberi masukan, melakukan perbaikan, maka mereka akan menjadi lebih percaya diri dan lebih termotivasi untuk mencoba hal-hal baru yang tentunya berguna bagi perusahaan. Rasa percaya ini juga merupakan kondisi yang penting untuk menggalang komunikasi dan kerja sama baik antarpimpinan dan karyawan, maupun antarkaryawan. Rendahnya rasa percaya akan mengarah pada ketidakpastian dan rasa takut.
Visi. Faktor ketiga yang perlu diperhatikan adalah visi. Visi memberikan gambaran akan masa depan yang diharapkan. Visi yang jelas juga memberikan petunjuk bagaiman masa depan bisa dicapai. Visi juga mendorong pemikiran dan perencanaan jangka panjang. Dengan perencanaan yang tepat, karyawan menjadi lebih percaya diri untuk menghadapi masa depan, sehingga mereka lebih nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Mengelola rasa takut tidak bisa dilakukan dalam semalam, perlu investasi dalam waktu, tindakan yang konsisten, dan komunikasi dalam mengelola rasa takut. Kunci dari mengelola rasa takut adalah kepemimpinan yang terbuka, kepercayaan dan visi untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pencapaian tujuan bersama. 
Sumber: Millis InspirasiIndonesia, Penulis : Roy Sembel, Posted by Mohamad Yunus


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More