Perubahan pusat kekuatan ekonomi, revolusi teknologi global seperti bio-teknologi dan nano-teknologi, serta berubahnya peta industri dari global ke lokal atau sebaliknya, membuat setiap orang mengumandangkan perubahan.
Pepatah kuno yang mengibaratkan perubahan bagaikan ombak, mengatakan: “Yang memberi kita ombak adalah Allah. Bagaimana kita bereaksi terhadapnya, adalah pilihan manusia-nya sendiri-sendiri.” Pada situasi di mana ‘ombak perubahan’ sebesar tsunami, terkadang manusia memang tidak mempunyai pilihan. Namun, dalam kondisi ‘ombak’ lain, kita mempunyai pilihan, untuk sekedar menunggu redanya ombak, berenang mengikuti atau melawan ombak, atau berselancar dan cerdik ‘memilih’ ombak mana yang akan kita tunggangi.
Mereka yang jago ‘berselancar’ dalam ‘ombak perubahan’, tentunya akan membukukan cerita ‘manis’. Pada krisis tahun 1998, Garuda Food bahkan melakukan diversifikasi, membeli serta memproduksi biskuit dan jelly secara sukses. Faisal Basri, ekonom kondang telah mengingatkan kita tentang harga saham yang sedang “bagus-bagus”-nya, yang kemungkinan bisa di’caplok’ oleh orang asing terlebih dahulu, sementara kita, bangsa Indonesia bisa ‘ketinggalan kereta’ dalam melihat peluangnya. Lagi-lagi, kemampuan ‘berselancar’ kita yang ditantang.
Menangkap Ombak, Mengambil Action
Dalam pembicaraan di pesta pesta,maupun pemberitaan di media, kita dikejutkan oleh banyak sekali perubahan, bahkan saking banyaknya dan bertubi tubinya fakta, kita terpukau dan hanya mengeleng-gelengkan kepala . Ada juga yang mampu menganalisa dan segera menyimpulkan tren dan mengira-ngira apa yang akan terjadi. Pertanyaannya, berapa orang yang kemudian membuat keputusan dan mengikutinya dengan action plan? Apa yang akan saya lakukan untuk mengelola cash dan hutang-hutang? Apa yang perlu diganti dalam rencana-rencana saya? Bagaimana saya mempertahankan pelanggan saya?
Dalam kepanikan menghadapi krisis, saya melihat bahwa orang bisa saja ‘maju-mundur’ secara ekstrim dalam mengambil keputusan. Padahal keputusan harus diambil. Apakah order akan dibatalkan? Apakah kita akan melanggar komitmen karena besarnya kerugian yang harus kita tanggung? Apakah kita ‘berani rugi’ untuk mempertahankan hubungan baik? Kapan pengorbanan akan membuahkan hasil? Dan, yang juga sangat penting, Apakah kita menyadari untuk membedakan antara keputusan yang berfokus pada keuntungan jangka pendek atau jangka panjang.
Isu yang sangat penting, yang justru sering terlupakan oleh kita semua adalah menterjemahkan kebingungan dan ketidakjelasan yang sedang berlangsung ke dalam sebuah keputusan dan tindakan yang akan diambil. Sebaliknya, tekanan yang tiba tiba, dan mengejutkan, seringkali pula menyebabkan kita terlalu gegabah mengambil keputusan. Tengok saja reaksi impulsif masyarakat terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Masyarakat yang tanpa pikir panjang merespons perubahan nilai tukar rupiahlah yang justru mengakibatkan semakin ‘goyang’-nya nilai tukar tersebut.
Keseimbangan untuk memperoleh informasi akurat sebanyak-banyaknya, memahami apa pengaruh dan dampaknya bagi perusahaan dan diri sendiri, dan kemudian melihat peluang ke masa depan dan mengambil keputusan yang kongkrit hampir-hampir adalah suatu seni. Bila kita tidak awas terhadap perubahan, kita ketinggalan. Sebaliknya, bila kita bertindak terlalu jauh, kita bisa terkubur oleh persoalan-persoalan ‘here and now’ di depan mata. ''You can't grow long-term if you can't eat short-term” . Di sinilah letaknya tantangan untuk menyeimbangkan keputusan jangka pendek versus jangka panjang, menyeimbangkan upaya survival, sambil merencanakan masa depan, serta memperhatikan baik pendekatan humanistik dan holistik. Mencari keseimbangannya inilah yang sulit, meskipun ‘kita bisa’!
Waktunya Menggalang Kebersamaan
Seperti yang dikatakan Jack Welch :” I don't like to use the word efficiency. It's creativity. It's a belief that every person counts.' Kekuatan baru hanya bisa terbentuk dengan menggalang kebersamaan, melakukan diskusi intensif untuk mendengarkan isu-isu, bersama mempelajari tantangan dan peluang yang ada, membahas bersama action-action untuk recovery, sehingga keluhan dan ketakutan bisa dirubah menjadi komitmen dan optimisme. Dalam situasi inilah sesungguhnya ketrampilan mendengar, berdiskusi, ber-brainstorming paling dibutuhkan. ‘Orang-orang pintar’ di dalam kelompok juga perlu dimanfaatkan agar kita bisa mempertajam kemampuan untuk mengetes asumsi, mengelola keluhan, membaca feedback dan melihat peluang..
Rasa takut dan perasaan tidak nyaman yang dirasakan anggota kelompok adalah sinyal-sinyal yang perlu ditangkap dan dipelajari. Pada saat ini ‘feedback’, walaupun menyakitkan juga sangat berguna untuk menjawab:”so what?’ dari gejala-gejala yang terjadi. Inilah saat yang tepat untuk membentuk ‘alignment’ yang kuat di dalam, sambil bersama-sama memandang jauh ‘keluar’.
Fleksibilitas di atas Kompleksitas
Mempersiapkan masa depan dalam situasi penuh tekanan, sambil menjaga kestabilan, memang memerlukan stamina, bukan saja intelektual tetapi juga emosional. Kita harus meletakkan ekstra fokus pada doing the right thing – the right way , serta pada ‘timing’ yang tepat pula. Louis V. Gerstner, Jr terbukti melakukannya pada saat IBM diramalkan akan terpuruk tajam, dengan cara ‘membalik ‘bisnis ‘mainframe’ IBM ke bisnis PC. Di sinilah kemampuan kita diuji, apakah bisa lincah dan fleksibel mangarungi kompleksitas. Tentunya para pimpinan perusahaan perlu menambah energi pribadinya untuk mampu mendorong dan menyemangati karyawannya untuk tetap jeli memanfaatkan peluang, menekan biaya, dan menciptakan produk yang murah dengan kualitas tetap prima. Perusahaan yang sukses mengarungi lautan kompleksitas ini adalah mereka yang mampu fokus hanya pada hal-hal penting saja, sambil tetap memelihara fleksibilitas untuk berespon terhadap perubahan, tren serta tekanan baru. Senantiasa ingat kata pepatah:“Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future”. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 13 Desember 2008)