“Energilah faktor utama tingginya kinerja, bukan waktu”
(Jim Loehr & Tony Schwartz, penulis “The Power of Full Engagement”)
Saya sering menjumpai orang yang merasa bangga sekaligus memelas terkait dengan ketergantungannya pada jam kerja yang berlebihan. Orang ini tampaknya bermasalah dengan waktu, tapi lebih-lebih sebenarnya mereka punya masalah dengan energinya. Dari mereka, ada yang berkomentar, “Waduh, kalau tidak ngelembur, pasti pekerjaan saya tidak bakal beres.” Komentar kain, “Namanya juga kerja di perusahaan kami, kalau enggak lembur, rasanya belum jadi karyawan yang sesungguhnya” atau “ Kalau enggak pukul 9 malam, belum bisa pulang. Kadang Sabtu dan Minggu juga masuk kantor.”
Memang, tidak ada yang mampu menghentikan waktu. Sementara itu, banyak orang yang terobsesi dengan waktu sebagai tolok ukur produktivitas. Seolah-olah orang yang sudah menghabiskan banyak waktu, dengan sendirinya dinilai sebagai orang produktif. Inilah salah kaprah yang banyak terjadi dalam konteks ‘bekerja’ sekarang. Orang berlomba-lomba mengelola waktu. Padahal, yang sebenarnya fundamental adalah mengelola energi untuk bekerja.
Ada kisah menarik. Seorang manajer perempuan terbiasa bekerja hingga larut malam. Biasanya, ia baru hengkang dari kantor pukul 9 atau 10 malam. Bisa jadi, dia adalah orang yang gila kerja (workalholic). Kebiasaan ini ia bawa sampai ketika ia menikah. Suaminya pun sempat melayangkan ultimatum. “Kamu pilih kerja atau keluargamu? Kalau kamu tetap pulang selarut itu, lebih baik kamu berhenti bekerja! Toh penghasilan saya bisa lebh dari cukup buat menghidupi kamu. Saya ijinkan kamu bekerja maksimal sampai pukul 6 sore. Sadarlah, keluarga kamu membutuhkanmu,” keluh suaminya. Perempuan karir itu pun akhirnya mendengarkan opini suaminya. Akhirnya, ia mengaku, sejak mendapat ultimatum itu ia berusaha menata dan mengatur lagi energinya dalam bekerja. Ia merasa tidak lagi membuang-buang energi untuk suatu yang sia-sia. Ia bercerita, sudah hampir 1,5 tahun ia bisa pulang ke rumah on time! Malah, bisa pulang dan menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul 6 sore. Ia pun merasa punya banyak waktu buat keluarga. Mereka pun bahagia.
Nah, dalam me-manage energi, prinsipnya bukan berapa banyak waktu yang dihabiskan. Tetapi, berapa banyak energi yang dicurahkan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Jadi, seorang yang bekerja dua jam saja tetapi dengan energi 100%. Itu sama efektifnya dengan mereka yang bekerja empat jam, tetapi hanya mempunyai energi 50%. Artinya, lamanya waktu bekerja tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas kerja. Waktu lama tidak identik dengan kerja produktif. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana dengan waktu terbatas, orang mampu mengerjakan banyak hal sesuai target dan dikerjakan dengan sebaik mungkin. Pada titik inilah, manajemen energi menjadi penting. Orang mampu bekerja baik jika mempunyai energi yang berlimpah. Bekerja dengan total energi, itulah kuncinya.
Ada tiga tips penting untuk mengelola energi ini. Hal ini diinspirasikan dari jawaban atas pertanyaan yang banyak muncul dalam workshop Kecerdasan Emosional yang saya fasilitasi.
pertama, menghindari banyaknya kebocoran emosi. Kebocoran emosi terjadi bila hati kita tinggal separuh saat mengerjakan tugas. Kita bekerja dengan setengah hati. Inilah yang terjadi saat tubuh beraktivitas, tetapi pikiran dan hati kita melayang ke tempat lain. Akibatnya, kita tidak bisa fokus bekerja. Pekerjaan yang dikerjakan dengan semangat setengah-setengah juga akan menghasilkan buah yang setengah-setengah juga. Banyak eksekutif sukses karena kemampuan mereka mengatasi kebocoran emosi ini. Mereka bekerja dengan hati, pikiran, dan raga yang total ‘hadir’ berada di tempat ia bekerja. Dalam pepatah Latin disebut Age Quod Agis, bekerja dengan totalitas penuh!
Kedua, kemampuan untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Sifat menunda-nunda pekerjaan (procrastination) merupakan kebiasaan yang bisa menghabiskan banyak energi kerja kita. Setelah ditunda, justru pekerjaan akan semakin susah diselesaikan. Pekerjaan lain menyusul dan akhirnya menumpuk. Bahkan, orang yang cenderung menunda pekerjaan justru akhirnya tidak mengerjakan apa-apa. Dalam bukunya Eat the Frog, Brian Trcay menyarankan justru pekerjaan yang sulit (diibaratkan seperti katak paling besar dan jelek) yang harus ditangani dulu, sehingga pekerjaan yang sulit menjadi lebih mudah diselesaikan. Kita dituntut mampu membuat prioritas pekerjaan. Semakin sulit dan menyebalkan, sebaiknya ditangani dulu. Sebab kalau tidak, mungkin akhirnya tidak akan pernah kita sentuh lagi.
Ketiga, tidak menunggu waktu yang tepat untuk memulai. Banyak orang menunda dan mempersiapkan pekerjaan secara bertele-tele. Mereka menunggu mood datang. Padahal datangnya mood tidak bisa ditebak. Tidak ada waktu yang tepat selain memaksa untuk memulainya. Kalaupun tidak merasa nyaman, mulailah dengan standar rendah dengan mencoba membuat draft terlebih dahulu. Perlahan-lahan barulah dipoles menjadi sempurna. Kita belajar dari seorang penulis. Seorang penulis tidak bisa disebut penulis jika tidak menulis. Tulisan tidak bakal jadi, jika tidak mulai menulis. Penulis yang hanya menunggu mood, tidak akan produktif menghasilkan tulisan. Harus ada disiplin. Di sini, diperlukan sikap contra agere, melawan kencenderungan negatif. Kalau cenderung menunda pekerjaan, lawanlah dengan mengerjakannya dengan total.
Pembaca, alangkah nyamannya kalau dengan waktu yang relatif singkat, kita mampu menyelesaikan banyak hal dari pekerjaan kita. Bayangkan seandainya kalau kita mampu mulai mengelola energi kita dengan baik. Selain pekerjaan kita selesai, kita juga punya waktu untuk keluarga dan kehidupan pribadi kita. Mengertikah Anda sekarang, mengapa pengelolaan energi adalah pegelolaan atas kualitas hidup kita? Sekali lagi, kualitas hidup Anda tergantung dari energi yang Anda kelola!
Sumber : hrexcellency.com