Menentukan Pilihan

Dalam perjalanan karir saya, setidaknya dua kali saya dijuluki orang gila oleh teman bahkan juga oleh keluarga saya. Yang pertama terjadi pada tahun 1996, saat itu saya memutuskan meninggalkan pekerjaan saya di dunia perbankan yang telah saya jalani selama 8 tahun.
Saya memilih tawaran bergabung dengan salah satu perusahaan asuransi joint venture.
“Gilaa ya lu Ir, serius lu mau resign? Kerja di bank kan enak, apalagi lu kan sudah lama kerja di situ!” Komentar lainnya, “Haaaah… lu mau pindah ke perusahaan asuransi dan ninggalin karir lu di bank? Jabatan lu kan sudah oke ngapain di asuransi…. hiiii..gue siih amit-amit deh kerja di asuransi. Emang lu dapet posisi apa di sana? Sampai berani-beraninya ninggalin karir lu sekarang?” Lain lagi komentar keluarga saya, “Kamu pikirin lagi deh dengan waras (ehm, saya ga waras apaa?!) sudah enak-enak di karirmu sekarang kok malah mau merintis dari awal lagi, inget anakmu masih kecil-kecil!”
Semua menentang pilihan dan keputusan saya waktu itu. Tapi saya tetap berpegang pada pilihan saya. Saya melihat begitu besar peluang di perusahaan yang menawari saya untuk membangun tim kerja. Dan walaupun saya tidak punya latar belakang di bidang asuransi, tapi saya punya keyakinan bahwa saya mampu. Lagipula, masih sama-sama bergerak di bidang keuangan.
Singkat cerita saya benar-benar mengambil keputusan itu. Itulah pilihan saya, maka saya jalani dunia saya yang baru. Walaupun harus banyak belajar, saya sangat menikmati semua keputusan yang saya ambil. Saat memulai, saya menanamkan pada diri saya, “Liaat lu yaa..! Gue bisa berhasil kok di dunia kerja yang baru,” Saya akan buktikan bahwa apa yang mereka khawatirkan, bahkan yang cenderung mengejek, adalah keliru besar!
Dengan kebulatan tekad dan kerja keras, selama 10 tahun saya di perusahaan tersebut, saya berhasil 8 kali berturut turut mengantarkan tim saya menjadi agentterbaik di tingkat nasional. Setiap tahun saya pun mendapatkan bonus jalan-jalan keliling dunia. Menyenangkan!
Kejadian serupa terulang lagi pada tahun 2006, saat saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahan asuransi tersebut. Lagi-lagi teman-teman saya bilang: “Emang sinting lu, dengan segala yang sudah lu dapatkan trus lu mau tinggalin itu semua? Lu kan sudah berhasil di sana, lu sudah memiliki segalanya, lu sudah bisa mencapai yang terbaik di sana, setiap tahun bisa keliling dunia,  terus sekarang mau ditinggalin? Mau pindah kemana lageee???”
“Engggak kok, ga pindah ke mana-mana. Mau ngurus anak. Anak-anak gue sudah mulai remaja.”
“Haaahhhh??? Serius looo? Mau ngerjain apa di rumah?”
Ya, pilihan kali ini memang sulit. Sebetulnya saya sendiri pun merasa tidak mudah mengambil keputusan ini. Tapi ada yang lebih membutuhkan saya, yakni kedua anak saya yang sudah mulai remaja. Itulah yang akhirnya membawa saya pada profesi yang saya geluti sampai hari ini, berbagi pengalaman dalam berbagai pelatihan. Dengan profesi ini saya punya lebih banyak waktu untuk keluarga saya.
Terkadang kita memang mesti melakukan hal paling ekstrem sekalipun untuk mengisi kehidupan ini. Semua adalah pilihan. Hidup tetap terus berlangsung, namun hanya membutuhkan satu keputusan untuk dapat melakukan perubahan dalam hidup.Bukankah semua yang terhampar di dunia ini adalah pilihan bagi manusia. Kita bisa memilih apa yang terbaik untuk diri kita (dengan bimbingan Tuhan tentu saja, karena tanpa itu nonsens saja semua!). Kita bisa memilih karir kita, pekerjaan kita, pasangan hidup kita, seberapa keras kita bekerja, dan seberapa berleha-leha kita terhadap hidup kita. Semua tetap pilihan!
Kita bisa memilih bekerja sampai subuh hari. Namun kita pun bisa memilih tidur cepat dan bangun pagi. Kita bisa memilih bekerja di zona aman tanpa mesti memikirkan risiko yang berarti. Demikian juga kita bisa memilih tantangan baru dalam hidup kita yang penuh dengan gejolak. Namun satu hal, perbedaanya adalah terletak pada hasilnya. Tak selamanya hukum matematika 1 + 1 selalu 2.
Semua ada di tangan kita, tetap dengan petunjuk Tuhan. Apakah kita berpikir untuk tetap menjadi orang biasa-biasa saja, atau orang di atas rata-rata, semua adalah pilihan. Tak ada yang memaksa, karena yang paling parah adalah: Jika kita sudah tak memiliki pilihan apa-apa lagi.
Bertanggung-jawab terhadap setiap pilihan hidup yang diambil. Fokuslah pada cita-cita semula, seolah semua siap di depan mata sehingga membuatmu bergegas langkah! Cepaaat!!!
Berkaryalah dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Bukan sebagai obsesi dan tuntutan yang membebani hidup kita. Namun, berkaryalah dan berbahagialah.
Salam Bahagia
Irma Sustika

Sumber : kompasiana.com