Segala keruwetan hidup, segala beban pikiran, segala ratapan akan kegagalan, sejatinya adalah hasil dari "Permainan Pikiran" kita sendiri. Kehidupan ini dipenuhi oleh rangkaian fragmen-fragmen. Satu peristiwa, dapat saja disikapi secara berbeda oleh individu-individu yang terlibat di dalamnya. "Musibah" bagi satu orang, di saat bersamaan boleh jadi justru menjadi "anugerah" bagi orang yang lain.
Sebagai contoh, penulis pernah mengalami sendiri kehilangan mobil satu-satunya yang dicuri dari garasi rumah di pagi buta. Situasi menjadi sulit, selain karena hilangannya aset keluarga, praktis sementara belum mendapatkan mobil pengganti, penulis harus mengandalkan ojek, angkot, bus umum atau pun taxi untuk bekerja.
Sebagai contoh, penulis pernah mengalami sendiri kehilangan mobil satu-satunya yang dicuri dari garasi rumah di pagi buta. Situasi menjadi sulit, selain karena hilangannya aset keluarga, praktis sementara belum mendapatkan mobil pengganti, penulis harus mengandalkan ojek, angkot, bus umum atau pun taxi untuk bekerja.
Namun di sisi lain, musibah ini justru menjadi "rejeki" untuk tukang ojek, supir angkot, taxi dan bus yang kini mendapatkan pelanggan baru. Tak ketinggalan tukang bangunan yang kemudian dipesan secara khusus untuk memperkuat konstruksi pagar rumah. Satu peristiwa bisa dimaknai secara sangat berbeda, bahkan bertolak belakang.
Agar tidak terjebak dalam "permainan pikiran" kita sendiri, diperlukan adanya "Prasangka Baik" (Possitive Thinking). Kepada siapa? Tentu pada Sang Maha Pemberi Kehidupan, yang telah mengatur fragmen-fragmen kehidupan tersebut. Prasangka baik akan menuntun kita untuk "tajam" dalam mengambil pembelajaran dari tiap kejadian.
Hidup adalah sebuah perjalanan untuk "MENJADI". Setiap kita hakikatnya sedang dalam perjalanan untuk "menjadi". Jiwa yang sederhana yang dianugerahkan pada setiap bayi yang baru lahir, ditempa untuk "menjadi" melalui serangkaian pengalaman hidup. UMUR adalah Time Line-nya, sejauh mana kehadiran kita memberikan MANFAAT adalah Measurement-nya, sementara SUKSES adalah Bonus-nya.
Tidak ada yang namanya kegagalan, karena kegagalan hanyalah "sinyal" agar kita mengevaluasi diri dan memperbaiki cara kita bekerja. Tidak ada yang namanya musibah, karena musibah hanyalah "momen" untuk introspeksi dan mengoptimalkan potensi diri yang ternyata selama ini masih Idle (terpendam).
Karena itu, ada beberapa pedoman yang bisa digunakan agar kita terbebas dari jebakan "permainan pikiran" kita sendiri:
1. Bahwa Sang Maha Pemurah tak akan pernah menyengsarakan hamba-Nya
2. Bahwa setiap hal pasti selalu diciptakan secara berpasang-pasangan
3. Bahwa dibalik setiap kesukaran pasti selalu ada kemudahan.
1. Bahwa Sang Maha Pemurah tak akan pernah menyengsarakan hamba-Nya
2. Bahwa setiap hal pasti selalu diciptakan secara berpasang-pasangan
3. Bahwa dibalik setiap kesukaran pasti selalu ada kemudahan.
Pertama, Tuhan tidak akan pernah "menyengsarakan" kita. Jati diri manusia sejatinya merupakan cerminan dari Kemuliaan Sifat Tuhan, karena itulah manusia diberi "tugas" untuk memakmurkan semesta kehidupan. Artinya, kita semua sesungguhnya ditakdirkan untuk SUKSES. Namun dalam prosesnya, diberikanlah oleh-Nya ujian hidup, baik berupa kegagalan, kesukaran, kekeliruan, kerumitan, atau pun musibah.
Mengapa demikian? Karena manusia yang mampu untuk memakmurkan semesta kehidupan, adalah manusia dengan JIWA yang telah bertumbuh. Dan pertumbuhan ini selalu melalui proses yang berjenjang. Ujian hidup merupakan SARANA untuk mengangkat kita ke jenjang berikutnya, karena ujian hidup akan memberikan tempaan, lecutan motivasi, pencerahan, titik balik, atau pun kesadaran untuk introspeksi. Namun demikian, skenario ini akan bisa berhasil bila kita menjalaninya dengan "Prasangka Baik".
Kedua, setiap hal selalu diciptakan berpasang-pasangan. Bila kita tidak mengenal bengkok, tentu kita tak akan menghargai lurus. Tanpa adanya gelap, terang menjadi tidak berarti. Putih menjadi kehilangan makna tanpa noda hitam yang bisa mengotorinya. Demikian pula, tanpa mengenal kegagalan, kita tak akan bisa menghargai keberhasilan. Kita akan mengejar keberhasilan bila kita memahami KEMULIAAN dari keberhasilan itu sendiri. Karena itulah, "diciptakannya" kegagalan sesungguhnya merupakan anugerah.
Ketiga, di balik setiap kesulitan PASTI ada kemudahan. Ini adalah sebuah hukum alam, sekaligus merupakan janji Tuhan. Pakar Fisika Prof. Yohannes Surya menyebutnya sebagai Fenomena "Mestakung". Kesulitan memang terasa menyesakkan, namun bila kita berhasil melaluinya, kita akan tersadar bahwa ternyata solusi itu SELALU tersedia.
Sebagai contoh, nusantara yang dahulu terdiri atas berbagai kerajaan, telah kenyang menelan penderitaan karena selama 350 tahun dijajah oleh VOC (kemudian diteruskan oleh Hindia Belanda). Namun dari penderitaan ini, para pendiri Republik menjadi tersadar akan pentingnya nilai persatuan, maka kemudian lahirlah Indonesia . Bisa dikatakan, bahwa VOC-lah yang telah menginisiasi persatuan Indonesia .
Hasilnya, sampai detik ini pun para pakar Geo-Politik dunia masih menyebut Indonesia sebagai "Keajaiban Abad 21". Sebuah wilayah yang multi etnis, terdiri atas ribuan pulau dan dipisahkan oleh lautan, nyatanya bisa bersatu sebagai sebuah negara. Berkaca dari runtuhnya Soviet, tragedi Balkanisasi, serta carut-marutnya Timur Tengah (sebuah wilayah yang sejatinya "Single" etnis tapi justru terdiri atas banyak negara), maka Negara Indonesia sungguh merupakan sebuah keajaiban.
Senang dan susah sebenarnya hanyalah ilusi. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu memetik pembelajaran, sehingga akhirnya kehadiran kita selalu memberikan manfaat. Tidak perlu terlampau DUKA untuk sebuah kegagalan, demikian pula tidak perlu terlampau BANGGA akan sebuah keberhasilan karena semuanya adalah bagian dari proses untuk "menjadi".
Sumber: Tommy Setiawan dalam www.andriewongso.com