Berapa persen dari fitur komputer atau telepon genggam yang selama ini Anda manfaatkan? Apakah sudah melewati 50%? Bila memang Anda memanfaatkan mesin tersebut sudah sampai 50%, saya yakin bahwa mesin tersebut sudah mulai terengah-engah ‘bekerja’ untuk Anda. Manusia pun ibarat mesin. Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa energi dan kontribusi yang diaplikasikan seorang karyawan di perusahaan, hanyalah sebagian kecil dari kapasitasnya. Perumpamaan manusia vs mesin ini pun sangat mudah dicerna peserta sharing mengenai human capital. Bahkan kemudian sering terdengar olok-olok, seperti: “Mesinnya komplit, tetapi van-belt-nya hampir putus”, atau “Mesinnya sempurna tetapi tidak ada ‘colokan’-nya, jadi percuma mesin itu ada”.
Bila kita ber-mindset “human capital” maka kita bisa melihat manusia ibarat sebuah mesin yang berfungsi penuh, tetapi utilisasinya sangat tergantung ‘pemilik’-nya. Sebagai sebuah mesin yang utuh, manusia merupakan satu-satunya mesin yang bisa ‘bergerak sendiri’, bahkan kadang sulit dikendalikan oleh pihak lain, katakanlah operator, kecuali dirinya sendiri. Dialah pemilik mesin itu sendiri.
Saya sering senyum-senyum sendiri bila teman saya, seorang CEO, marah-marah bila menyadari biaya ‘human capital’ di perusahaannya mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Padahal, beliau sering menyebutkan kalimat klise, bahwa ”manusia adalah aset terbesar di perusahaan kami”. Pada saat demikianlah biasanya kita sadar bahwa sumber daya manusia masih jarang menjadi fokus dan pengelolaan yang optimal, di antara strategi bisnis lain di perusahaan.
Tidak Ada Kurasi Instan
Hal sulit dalam mengelola manusia ini adalah kita tidak bisa melakukan perubahan mendadak, walaupun uang tersedia. Kita bisa dengan segera meregenerasi mesin atau memindahkan pabrik, namun melakukan aksi perubahan pada sumber daya manusia berdampak tidak saja pada biaya tetapi masih banyak lagi aspek kehidupan yang lebih sulit dikendalikan. Apalagi bila kita sudah menghadapi gejala-gejala khas akibat salah urus manajemen manusia seperti: ‘Too many chiefs no Indians’, yaitu terlalu banyak manager, sementara staf yang di-manage hanya sedikit, atau sebaliknya, langkanya karyawan yang bisa diandalkan sebagai pemimpin.
Gejala ini tidak hanya terjadi pada perusahaan manufaktur di mana bisnis masih di dominasi mesin dan automasi, tetapi juga terjadi pada perusahaan-perusahaan dengan bobot sumber daya manusia yang besar, seperti perusahaan yang menjual jasa seperti bisnis perbankan, konsultasi, engineering. Saat ini biasanya baru kita sadari bahwa upaya bajak, rekrut baru, pelatihan tidak akan mendapatkan kurasi instan. Kita memang perlu memikirkan strategi yang berkesinambungan, berjangka menengah dan panjang, untuk menciptakan ‘mesin-mesin’ manusia yang handal dan kompetitif sepanjang waktu.
Cost Reduction vs Value Creation
Seperti halnya Negara Cina yang beberapa tahun lalu menerapkan upah sangat rendah, kita pun bisa dikatakan berpuluh tahun menikmati ‘tenaga murah’, misalnya buruh dan pegawai negeri. Manusianya pun oke-oke saja dengan kondisi ini, setuju digaji seadanya, efeknya ia tidak menuntut dirinya untuk berkembang, tidak merasa perlu bersusah payah untuk memelihara dan mengasah ‘mesinnya’ agar tidak ketinggalan jaman. Tanpa kita sadari, keteledoran ini menyebabkan lemahnya ‘human capital’ secara menyeluruh dan tidak kompetitifnya sumberdaya manusia kita. Upah rendah itu ternyata berakibat biaya yang tinggi juga. Manusia yang tidak mengembangkan diri akan menghasilkan rendahnya kualitas produk, lambatnya produksi, buruknya servis, yang berakibat pada tidak kompetitifnya hasil. Sementara, biaya per manusia yang menyangkut kesehatan, asuransi, kesejahteraan keluarganya semakin melonjak, sehingga ‘human capital’ yang ada di perusahaan menjadi tidak efektif dan efisien.
Dalam situasi krisis begini, perusahaan memang bisa saja mengurangi biaya sumberdaya manusia. Namun, sebelum mengambil keputusan untuk memangkas biaya-biaya sumberdaya manusia, para employer memang perlu memikirkan akibat yang terjadi di perusahaan seperti pincangnya kompetensi, beratnya beban kerja, hilangnya kesempatan suksesi, macetnya proses investasi di manusia dan membandingkannya dengan mengkalkulasi kekuatan aset manusia ini yang sebetulnya membawa bobot pengetahuan, intelektual, jaringan sosial, servis dan merupakan ‘added value’ tak terbatas. Seorang ahli berkomentar: ”There’s a floor to cost reduction but no ceiling to value creation”, artinya, mengurangi biaya sumber daya manusia pasti ada batasnya, padahal dengan SDM yang baik, kita bisa melakukan kinerja yang tidak berbatas. Bayangkan kalau di perusahaan kita, bekerja manusia-manusia berspirit kreatif dan inovatif, yang tidak hanya sekedar mempertahankan atau memajukan bisnis tetapi menciptakan bisnis.
Ciptakan Pabrik ‘Talent’
Charles Coffin, CEO General Electric yang pertama (tahun 1920-an) sudah mengatakan bahwa “GE’s most important product is not light bulbs or transformers but managerial talent “. Kita lihat bahwa ‘Human Capital management’ yang baik, akan memperhitungkan berharganya pengumpulan pengalaman, ekspertis, di samping spirit inovasi karyawannya dalam jangka panjang. Perusahaan yang sukses dengan ‘human capital management’ yang canggih, senantiasa mengkaitkan perkembangan bisnisnya dengan kebugaran ‘human kapital’-nya, ‘memangkas’ yang tidak perlu, mengasah, memelihara, di samping menjaga daya tarik ‘employment’, sehingga selalu mendapatkan bibit-bibit baru terbaik.
Bagaimana dengan kita, si mesin, diantara 220 juta mesin lain di Indonesia? Marilah kita menjadi mesin yang utuh, lengkap dalam diri sendiri, tidak membutuhkan alat bantu untuk ‘dinyalakan’, bisa meng-‘upgrade’ diri sendiri tanpa harus didorong-dorong, kreatif, inovatif dan fleksibel ditempatkan di lahan mana pun, dan menyusun kekuatan sumber daya manusia Indonesia. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)