Seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi presiden menyapa saya dan bertanya mengenai komentar saya mengenai fakta bahwa ia mencalonkan diri sebagai presiden. Saya betul-betul membutuhkan waktu untuk mencerna apa dan bagaimana kriteria seorang presiden, sampai saya akhirnya berkomentar menyatakan kekaguman saya pada keberanian dan kesiapannya. Ia tentunya sudah merencanakan terobosan-terobosan, inovasi dan solusi bagi keadaan negara yang sangat kompleks dan besar ini.
Kita sadari bersama bahwa selain krisis energi di tengah kekayaaan sumberdaya yang belum termanfaatkan seperti air, angin, laut, kita sudah menghadapi masalah-masalah seperti emisi karbon yang harus di stop, sementara konsumsi mobil meningkat terus. Biaya pengobatan pun kini sudah tidak terkendalikan mahalnya dan tidak bisa di tanggung oleh kebanyakan orang lagi. Masalah kemiskinan yang diduga sudah mencapai titik nadir, tetapi tetep anjlok lebih dalam dan lebih dalam lagi. Belum lagi bicara terorisme yang selain membunuh orang juga mematikan bisnis dan kesejahteraan rakyat, seperti kejadian di Bali . Pe-er para pemimpin tentunya tidak berpolitik saja, tetapi juga melakukan hal-hal ‘back to basic’, program-program ‘fusion’, atau bahkan membuat ‘quantum leap’, banting stir, tidak sekedar mereplikasi upaya yang ada tanpa perbaikan, sementara juga membuat proses yang ada berjalan lancar tanpa hambatan. Mungkin tepatnya, pemimpin perlu punya kompetensi super istimewa, seperti memperbaiki mobil dalam keadaan sedang berjalan.
Generasi yang Menggerakkan Masa Depan
Bicara masa depan, tentulah tidak bisa dihindari, mata kita tertuju pula pada generasi yang baru. Berkat jasa para pendahulu, kita sekarang berada pada generasi yang lebih berfasilitas dan lebih berpendidikan dari sebelumnya. Perubahan kilat dan daya tahan untuk menghadapi kompleksitas hidup pun sudah meningkat. Kita sudah punya akses ke informasi apapun dan juga terkoneksi ke mana pun.
Ada yang mengatakan bahwa generasi sekarang sudah tidak setangguh generasi dulu. Generasi sekarang tinggal menikmati apa yang sudah dilandaskan oleh generasi pendahulu. Padahal kita mengenal ’Gen Y’, anak muda sekarang, jauh lebih kreatif, inventif, tahu bagaimana menikmati dunia dan kebebasan. Kreativitas, inovasi serta pikiran bebas sudah menyebabkan generasi baru sudah “beda” dengan generasi lalu. Tanpa terasa”alih generasi” sudah terjadi. Karakteristik ini tentunya menjadi kekuatan untuk menanggulangi abad ke-21 yang sudah di depan mata. Sekaranglah saat-saat perpindahan tongkat estafet, di mana semua hasil karya pendahulu bisa kita nikmati dan perlu diteruskan dengan upaya yang lebih keras, kreatif dan “beda”. Kalau tidak kita akan terjebak di dalam vakumnya kepemimpinan dan bingung antara mengikuti spektrum lama dan sibuk melakukan penyanggahan, komplen, meratapi keterbatasan dan berontak. Kitalah yang perlu membawa lingkungan untuk menanggapi tantangan abad selanjutnya, menemui kesejahteraan bentuk baru. Dengan adanya darah baru kita sebetulnya bisa berharap akan langkah-langkah yang segar, positif, penuh inspirasi sehingga kekuatan intelektual dan sosial yang berasal dari generasi muda menjadi motor penggerak bangsa.
Kita pun bisa dengan mindset “out of the box” mengembangkan “inside the box” kita. Sebagai inspirasi, kita bisa tengok Thailand, yang area istananya ‘dipenuhi’ dengan laboratorium laboratorium yang menjadikan kita dapat menikmati durian munthong secara murah meriah, menikmati beras impor Thailand, bahkan mengimpor iklan karena profesionalisme pembuatan iklan yang diriset dari istana. Negara tetangga kita yang lain, Malaysia , yang meskipun garis pantainya begitu pendek, sedang gencarnya mengembangkan ‘marine agriculture’ atau inshore aquaculture. Mengapa kita yang punya garis pantai kedua terpanjang di dunia, luput mengembangkannya?
Menyambut Tantangan dengan Tindakan
Presentasi para manajer di perusahaan baik di dalam rapat kerja atau analisa penjualan atau bisnis yang kerap menggambarkan kekuatan dan kesempatan di satu sisi, ancaman dan kelemahan di sisi lain, atau SWOT, sering menjebak kita semua untuk berkubang dan memelototi kelemahan diri dan tidak berusaha keluar dari sumur kubangan tersebut. Pendekatan “positive psychology” mengajurkan agar kita hanya menggunakan analisa ancaman dan kelemahan sebagai langkah awal. Kemudian, ‘sejarah’ itu kita simpan baik-baik di belakang untuk berfokus pada S-O-A-R (strength, opportunity, action, result), yaitu masa depan, action dan hasil. Pendekatan seperti ini akan membawa kita dari intelektualisme menuju aktivisme, berorientasi pada gerak sehingga membawa aura “dinamisme”. Kreativitas pun akan dimanfaatkan betul-betul untuk menyambut tantangan. Konsentrasi pada action dan result ini juga lebih cocok untuk generasi sekarang yang cenderung lebih instan dan ingin “menyaksikan hasil” dengan cepat.
Keaktifan Menerobos akan Membawa Hawa Baru
Greget untuk menuju pada kemajuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan ataupun kualitas hidup lainnya, dalam kondisi “constant change” dan kompetisi, tidak-bisa-tidak tetap perlu dibawa ke depan. Untuk itulah pemimpin butuh visi, strategi dan komitmen yang super kuat. Kesenjangan yang sedang digarap bukanlah sekedar kesenjangan antara masa sekarang dan masa depan, tetapi juga kesenjangan antara masa depan dan komitmen pemimpinnya, antara tindakan yang sudah dibuat dengan keadaan “turbulence” selanjutnya, yang disebut seorang ahli sebagai “Energetic Gap”, yaitu kekuatan energetik yang menembus terciptanya suatu program yang mantap dan antisipatif dari sesuatu yang, tidak usah selalu baru dan banyak ongkos, tetapi belum pernah terpikirkan.
Gaya pemimpin yang berorientasi paternalistik dan berangan-angan menjadi panutan bagi anak buah rasanya sudah kurang cocok dalam situasi sekarang di mana stakeholders, anak buah, pelanggan sudah ‘sama pandainya’ dengan para pemimpin. Satu-satunya jalan yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan dan mencatat sukses adalah dengan mengajak, mencontohkan kegiatan belajarnya, dan mengakui ketidakbisaannya dengan jujur dan transparan. “Learning” buat para pemimpin perlu menjadi nafas dinamikanya, di mana perlu didorong “blur the line” antara learning dan kerja. Pemimpin yang baru perlu tahu memanfaatkan kompetensi teknis baru pada proses-proses yang berjalan sekarang dan dengan serius mengembangkannya baik di dalam laboratorium maupun dalam diskusi-diskusi sehingga hasil olahan tersebut menelorkan program-program pembenahan, campuran atau yang sama sekali baru. Pemimpin pun perlu sangat transparan akan sasaran dan harapannya, karena hanya dengan pemahaman yang kuat dari para pengikutlah enerji yang dibutuhkan untuk bergerak bisa menyala dan tumbuh. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 2 Agustus 2008)