Kutipan terkenal dari salah seorang Presiden Amerika di atas secara sederhana menyiratkan, kesadaran atas pentingnya belajar dan persiapan, sebelum datangnya kesempatan. Sebagaimana bunyi pepetah: “Sedia payung sebelum hujan”, begitulah mestinya kegiatan belajar yang dilakukan. Sehingga ketika saatnya telah benar-benar tiba, maka seseorang tidak lagi perlu gugup atau gamang dalam menghadapinya. Dengan begitu, maka proses pembelajaran – khususnya semangat belajar – mutlak perlu dipertahankan di sepanjang usia. Karena, bukankah kita semua tengah menuju ke masa depan, yang penuh dengan berbagai ketidak pastian?
Bayangkan, dalam soal mengasuh anak saja, kita dituntut untuk belajar secara terus-menerus. Dimulai pada saat ia masih bayi, kita perlu belajar untuk dapat memahami beragam jenis suara tangisnya. Apakah ia nangis karena haus, lapar atau karena pipis?
Atau bisa jadi ia nangis karena merasa sakit? Lalu bagaimana pada saat anak sudah masuk sekolah? Bukankah orangtua mesti memiliki pengetahuan dan kemampuan tambahan sebagai mentor atau pendamping belajarnya? Begitulah seterusnya sampai ia beranjak remaja dan dewasa, maka kemampuan dan pengetahuan lama dari orang tua, sudah tidak akan memadai lagi. Singkatnya, hanya dalam satu aspek saja, kita sudah mesti belajar tiada henti.
Terlebih lagi – kita sebagai manusia bukanlah makhluk berdimensi tunggal – melainkan multidimensi. Artinya,kita tidak hanya menjadi orang tua bagi putra-putri kita, tetapi mungkin juga sekaligus menjadi atasan bagi para bawahan, atau menjadi bawahan bagi sang atasan di tempat kerja. Pada saat yang sama, kita semua mesti berhadapan dengan berbagai masalah atau tantangan dalam pekerjaan, sehubungan dengan perubahan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya yang sedemikian cepat.
”Yesterday’s record are todays entry level requirement”, kata seseorang pakar Self-help. Artinya, rekor-rekor pencapaian tertinggi pada waktu lalu, bisa bisa sudah berubah menjadi syarat-syarat minimal yang dituntut pada hari ini. Standar ekspektasi semakin hari semakin tinggi, yang berarti kemampuan kita untuk memenuhinya pun juga dituntut semakin tinggi.
Begitu pula halnya kualitas relasi kita dengan pasangan hidup, apakah dengan suami atau istri, yang tak mungkin kita biarkan ”bisa menjadi membaik dengan sendirinya”. Sehingga mau tak mau, kita mesti menambah “ilmu” guna memperbaiki pemahaman dan kemampuan kita untuk meningkatkannya.
Spiral Pemahaman
Berdasarkan riset,sebagian besar manusia hanya menggunakan 1 hingga 3 % kapasitas pikirannya (Albert Einstein saja konon hanya memanfaatkan pikiran kurang dari 5 %). Sehingga lebih dari 95 % kemampuan berpikir kita, hanya akan terbenam dalam UNCONSCIOUS INCOMPETENCE, atau “ketidakmampuan yang tak kita sadari”, sampai kita sadar atas kemampuan tersebut. Sebagai contoh, pada mulanya kita semua tidak menyadari bahwa kita tidak mampu memakai baju sendiri. Sampai suastu ketika kita baru sadar, pada saat kita diminta untuk memakai baju sendiri. Nah, mulai pada titik inilah kita akan berusaha sedemikian rupa, mencoba dan meniru, sampai pada satu titik, kita menjadi sangat menguasainya. Apa yang terjadi setelah itu? Saking begitu terampilnya, kini bahkan kita melakukannya tanpa melibatkan pikiran secara sadar.
Inilah gerak spiral pemahaman kita atas berbagai aspek keterampilan. Bergerak mulai dari Unconscious Incompetence – atau ketidakmampuan yang tak disadari, menuju Conscious Incompetence – yaitu ketidakmampuan yang disadari, terus bergerak ke Conscious Competence – dimana kita mampu secara sadar, lalu berpuncak pada Unconscious Competence – kita melakukannya seakan secara reflek (tak sadar), sebagaimana kemampuan kita dalam menyetir mobil, mengendarai sepeda, memakai sepatu dan sebagainya. Tahap terakhir inilah yang sering disebut sebagai Level Mastery, dimana kita mampu mengerjakannya tanpa perlu melibatkan pikiran sadar.
Lalu bagaimana dengan kemampuan kita dalam berbagai aspek kehidupan? Sudahkan kita menjadi master atau mencapai tingkatan begawan dalam setiap sendi kehidupan? Yang berarti kita adalah The Master dalam urusan memahami pasangan hidup, menjadi orang tua yang sangat ahli memahami, mencintai dan membimbing putra-putri?
Bagaimana pula dengan peran sosial kita? Apakah kita memiliki keahlian delam menjalin relasi dengan sesama? Seorang profesional yang sangat ahli dibidangnya, sehingga sudah tak sedikit pun menemui masalah? Kalau nyatanya ada satu bidang atau lebih, dimana Anda merasa belum memiliki tingkat kemampuan seorang ahli, maka seruan ini pun berlaku bagi Anda: Jangan pernah berhenti belajar! Never Stop Learning!
Sumber: Majalah Luar Biasa No. 5 Tahun II (2010)