Edward Wanandi tergagap-gagap ketika kakaknya, Sofjan Wanandi tampak sangat geram. “Engkau agaknya susah diberi tahu.Tabiatmu membuat saya pusing. Udah, itu pintu. Silakan keluar dari sini. Cari jalanmu sendiri!”, ucap Sofjan dengan raut masam tiga puluh tahun silam.
Ketika itu Sofjan sudah menjadi usahawan besar dan masuk dalam daftar konglomerat yang diperhitungkan. Adapun Edward, si bungsu, agaknya masih asik dengan dunia anak muda yang hingar. Ia diberi kesempatan kuliah di Australia, tetapi belum selesai ia sudah pulang ke Indonesia dengan raut tak berdosa. Tentu saja Sofjan jadi pitam karenanya.
Pernah suatu ketika, Edward mengambil beberapa slop rokok di tukang rokok dan mengatakan, ayahnya yang akan bayar. Si tukang rokok tentu percaya kepada Edward, toh dia adalah anak orang berada yang berdomisili di Menteng. Ia memberi semua rokok yang diminta Edward. Lalu beberapa hari kemudian pergi kerumah ayah Sofjan untuk menagih “utang” Edward pada ayahnya. Sofjan yang menerima tukang rokok itu jengkel bukan main. Sofjan membayar semua utang itu sambil menggerutu.
Tak ayal, Sofjan mengunci semua pintu rumah. Ia ingin memberi Edward pelajaran untuk kenakalannya. Pada dini hari, Sofjan yang sengaja bergadang menunggu Edward pulang, melihat ia memanjat tembok tetangga, menyusuri genteng lalu meloncat kedalam rumah dari ketinggian. Sofjan yang sedang jengkel pun keluar kamarnya dan memarahi Edward. Tidak puas hanya marah, Sofjan pun meninju rahang adiknya.
“Ha-ha-ha-ha, saya ketawa ngakak kalau mengingat peristiwa itu. Iya saya memang kebangetan, masak marah pada adik sendiri sampai sekasar itu. Adik saya pun begitu, nakal kok sampai seperti itu,” ujar Sofjan. “Tetapi edan, rahang adik saya rupanya keras sekali, tinju saya malah biru dan bengkak. Berhari-hari saya susah kerja ha-ha-ha-ha.” Begitulah, Edward keluar rumah dan mencari bintangnya sendiri.
Dengan bekal pendidikan luar negeri (sekalipun tidak tamat) dan berusaha mengubah perangainya, Edward bekerja keras pada perusahaan swasta. Ia hendak membuktikan pada Sofjan bahwa Ia bisa bekerja. Karena pada dasarnya memang cerdas, Edward pun sukses merebut hati bosnya. Ia dipercaya melakukan tugas-tugas besar, dan melakukan deal dengan customer papan atas. Edward dipercaya mengelola perusahaan dengan omzet (saat itu) ratusan juta rupiah.
Beberapa tahun kemudian, tatkala sudah berpengalaman kerja, jaringan sudah luas dan saku mulai tebal, Edward keluar dari perusahaan itu dan membuka usaha sendiri. Bisnisnya ternyata berkembang sangat subur, sehingga suka tidak suka, Sofjan terpesona juga. Semua bayangan jelek tentang adiknya langsung pupus. Ia lalu mengajak adiknya bekerja sama mengerjakan proyek bergengsi. Keduanyapun rukun kembali. “Sejak dulu, sampai sekarang saya tidak pernah dendam atau sakit hati pada Sofjan,” ujar Edward Wanandi. “Saya sadar kok, saya memang bengal dan bersalah. Kelakuan saya juga minus. Juga malas bersekolah. Kalo Sofjan ngamuk, jelas karena ingin melihat saya baik.”
Kini Edward adalah salah seorang usahawan Indonesia yang sukses berbisnis di Amerika Serikat. Ia memiliki sejumlah industri disana, dengan Chicago sebagai markas besar. Si ganteng yang suka terbahak ini memiliki jaringan bisnis yang kuat di Amerika. Lobinya dari menteri, diplomat, hingga usahawan kelas dunia.
Dalam wawancara, Edward menjelaskan bahwa kenakalannya semasa muda membuat ia memiliki nyali bertarung di Amerika. Dan, peristiwa mengamuknya Sofjan tiba-tiba mengubah semua perilakunya. Ia menjadi sangat ulet, pantang menyerah. Nyalinya sangat besar. Karirnya di bisnis pun dimulai dari bawah, sehingga praktis ia matang di lapangan. Dan, karena terbiasa hidup dalam keluarga hemat Edward sangat efisien dalam menggunakan uangnya. Kini ia bahkan sangat dekat secara emosional dengan Sofjan Wanandi. Ia sayang pada kakaknya yang galak, tetapi baik hati itu.
Sumber : kennysung.com