Ketika dalam sebuah tim kerja saya berusaha mencari tahu alasan mengapa tim tersebut tidak tumbuh menjadi sinergi yang optimal, pada umumnya anggota-anggota tim mengatakan bahwa mereka bekerja secara “Baik-baik saja, tidak ada masalah”. Namun, seorang rekan mempunyai jawaban yang sedikit berbeda dari teman-temannya. Ia berkomentar, “Kalau hubungan kerja kita tidak ada masalah, bu. Secara pekerjaan kita cocok satu sama lain, tapi dalam hubungan pertemanan, kita belum tentu cocok.” Kembali, saya tertampar oleh kenyataan dalam praktek sehari-hari, bahwa banyak proses di bawah alam sadar kita yang sedang berlangsung ataupun macet, bahkan menjadi penghambat dari proses-proses sederhana yang masuk akal sehari-hari.
Kita pasti pernah mengalami situasi di mana kita ”enak” bekerja sama dengan seseorang atau sekelompok orang dan sebaliknya juga ”tidak nyaman” bekerja dengan individu lain, tanpa kita tahu alasannya. Bahkan kita sering enggan untuk membahasnya, tetap memaksakan diri untuk bekerja sama, membiarkan gejala itu berlalu, tanpa berusaha untuk mengadakan pendekatan yang lebih dalam. Alhasil hubungan kerja, maupun hubungan sosial menjadi kering, ”anyep”, padahal tidak diwarnai konflik yang nyata. Dalam situasi sosial seperti ini, kita pun akan merasa berat untuk menjalin kerja sama, kooperasi karena di ‘udara’ diantara kita, tidak terbangun rasa saling percaya, respek satu sama lain, apa lagi hal yang sering disebut ”brotherhood”, alias kekompakan, kesamarataan dan kesamarasaan. Sebuah kelompok, baru berkekuatan sosial bila ada rasa saling percaya yang dalam, di mana setiap individu merasakan manfaat dari indentitas kelompoknya, memiliki pemahaman yang jelas mengenai masa depan, krisis dan kesulitan, karena adanya sasaran kelompok yang juga dimengerti masing-masing anggotanya. Hanya dalam situasi beginilah, kinerja kelompok bisa di-”boost”, selain perubahan dan krisis bisa ditangani.
Gunung Es Proses Sosial
Materi dalam rapat-rapat dan hubungan manajerial seperti presentasi, perencanaan, implementasi, metoda, segala macam kalkulasi, peramalan dan estimasi adalah materi yang memang sangat tergantung pada kecerdasan individu. Ini semua kasat mata, bagaikan pucuk gunung es yang kelihatan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sering mengalami atau menemui sebuah kelompok kerja yang terdiri dari individu yang masing-masing cerdas, akrab, banyak bergurau satu sama lain, tetapi tidak berkinerja optimal di dalam kelompoknya. Dalam hal ini terkesan bahwa proses kerja yang terlihat oke-oke saja, tetapi di bawah sadar ataupun di dalam hati, bagaikan dasar gunung es yang jauh lebih luas daripada pucuknya, ada beberapa hal yang tidak pernah dicocokkan, seperti misalnya rasa percaya, nilai-nilai, persepsi serta perasaan. Padahal justru pada bagian bawah gunung es inilah terletak kekuatan yang maha besar.
Istilah ”incorporated” alias jalinan kooperasi yang disebut-sebut Robby Djohan dalam buku barunya ”Lead to Togetherness”, mempunyai dasar-dasar yang sangat sederhana, yaitu jalinan rasa percaya dan kebersamaan. Konon, di antara para pejabat tinggi negara pun sering terlihat gejala, di mana dalam rapat kabinet keputusan keputusan sudah di sepakati bersama tetapi dalam implementasinya, koordinasi dan kooperasi seolah sulit dijalankan. Tidak ada ”alignment”. Bisa kita bayangkan betapa ”human capital” yang dimiliki oleh suatu lembaga atau bahkan negara tersia-siakan bila tidak digarap menjadi ”Social Capital”.
”Bonding”, ”Bridging”, ”linking”
Sebenarnya sebagai mahluk sosial, setiap individu diberi bakat untuk membina dan mengembangkan hubungan interpersonal yang intensif. Sayangnya dalam kegiatan bisnis, politik dan bernegara, hubungan interpersonal ini kemudian diletakkan pada prioritas yang rendah. Hubungan kerja, atau kerjasama dibiarkan berada dalam kedangkalan dan berhenti pada tingkat basa-basi, tidak tulus. Mungkin bukan karena dianggap tidak penting, namun disangka bahwa akan berjalan dan berkembang dengan sendirinya. Padahal, betapa kita melihat bahwa banyak hal ”tidak jalan”, ”tidak terkomunikasikan” atau ”tidak tersosialisasikan” karena tidak terbinanya, partisipasi, tanggung jawab bersama dan inisiatif dari masing masing anggota kelompok. Dalam skala pemerintah, misalnya, kita juga menyaksikan betapa sulitnya pemerintah berbagi susah dan masalah dengan ”grassroot” dikarenakan tidak adanya ”bonding” antara pengambil keputusan, kebijakan dengan ”orang kecil” yang tidak tahu apa-apa dan hanya menanggung dampak dari keputusan yang dibuat.
Dalam hubungan interpersonal, sebenarnya ’bonding’, ’bridging’ dan ’linking’, dilakukan secara sehari-hari, tetapi tergantung frekuensi, fokus, niat dan ”awareness” pelakunya. Arisan keluarga, paguyuban, kekompakan dalam suatu divisi, menandakan kapasitas individu untuk saling merangkul dan ber-samarasa dalam kelompok yang relatif kecil. Namun tentunya kekompakan ini tidak boleh dibiarkan berhenti di tingkat ini saja, karena hasilnya hanya terbatas pada kinerja kelompok kecil. Bonding” perlu dilanjutkan dengan upaya ‘Bridging’, di mana individu dan pemimpin berusaha untuk mengikatkan diri dengan individu atau kelompok yang justeru berbeda pandangan, keahlian, generasi dan dari jejaring yang lain pula. Bahayanya jika bridging tidak dilakukan adalah ikatan kuat dalam kelompok kecil bisa-bisa menjadikan kelompok tidak percaya pada ’orang luar’, bahkan menutup diri dan tidak bersedia melakukan ’alignment’ dengan kelompok lain. Berhubungan timbal balik dan belajar dari institusi dan negara lain, atau linking’, akan memudahkan kita mengakses sumber daya dan perubahan. Justru dengan menyambung keberbedaan baik pendapat, pandangan politik, antar-generasi dan sumberdaya, kita membangun modal sosial kita. Hanya dengan cara inilah kita bisa maju dan menyambar kesempatan lain.
Modal Sosial
Rasa ”suka”, simpati satu sama lain, pertemanan, kelancaran tukar menukar informasi serta kebersamaan dan solidaritas merupakan modal sosial yang justru sering baru terasa disaat saat bekerja secara negatif , seperti timbulnya protes-protes dan demo-demo. Padahal justru solidaritas dan kooperasi perlu dimanfaatkan untuk memperkuat, memperbaiki kinerja, melawan krisis ataupun menghadapi perubahan dan masalah yang tak kunjung berhenti. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di Kompas, 17 Mei 2008)