Ketika diminta oleh lembaga keuangan paling bergengsi di negara kita ini untuk mendefinisikan ‘maturitas’ alias ‘kematangan’, dalam rangka seleksi calon pimpinan, dengan fasih saya mendeskripsikan lima persyaratan kematangan pribadi yang saya pelajari dari almarhum dosen Psikologi Kepribadian di universitas, yaitu: berpikir obyektif, berpikir positif, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosi, bertanggung jawab, serta mampu membina hubungan interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu yang relatif panjang. Bagi saya, materi ini adalah hafalan utama yang sudah tertanam sejak di awal bangku kuliah. Namun kemudian, saya berpikir sendiri, mengapa hal ini diangkat ketika ada pemilihan calon pemimpin? Ada apa dengan kematangan para eksekutif kita?
Dari hasil diskusi dan penggalian, maka kami dari Experd melihat bahwa kematangan pribadi akan dijadikan kriteria utama dalam pemilihan calon pemimpin.”Kita di lembaga ini pintar-pintar semua, namun justru yang sedang dicari adalah pemimpin yang punya ciri kematangan yang disebutkan tadi.”, tutur penanggung jawab seleksi tersebut. Konon ketidakmatangan ini sering terlihat pada ketidakberanian calon pemimpin untuk mengambil keputusan, memaksakan pendapat, meng-“abuse” kekuasaan, serta ketidakmampuan menbina hubungan antar manusia secara fair dan bertanggung jawab. Dari kenyataan ini, kita bisa belajar bahwa pada dasarnya pendidikan dan kepintaran tidak selamanya berkorelasi dengan kematangan pribadi, terutama kalau individu mengembangkan fungsi-fungsi di dalam dirinya secara berat sebelah, misalnya saja banyak berpikir tanpa mengembangkan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari di organisasi.
Kematangan Bisa Terkikis dan Menular
Bagi kebanyakan orang, kematangan ditandai dengan kedewasaan yang diindikasikan dengan keberanian memasuki jenjang perkawinan, punya penghasilan sendiri serta lepas dari bimbingan orang tua. Namun, terutama dalam situasi menekan, kritis dan berisiko, kita sendiri kemudian dapat menyadari ataupun menyaksikan bahwa respons individu sering menunjukkan ketidakdewasaan. Seorang atasan bisa saja “mengecilkan” harga diri bawahannya sedemikian rupa, sehingga setiap individu yang menyaksikan kejadian tersebut bisa melihat bahwa sang atasan-lah yang tidak bijaksana. Seorang professional pun bisa tidak mengakui kesalahan yang dibuat, bahkan menuding orang lain yang perlu bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya. Bila dibahas lebih dalam lagi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa tidak bijaksananya individu disebabkan karena ia belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan baik oleh lingkungan maupun oleh dirinya sendiri.
Kenyataan yang perlu kita simak bersama adalah bahwa kematangan tidak diturunkan, bukan bawaan sejak lahir, tetapi benar-benar dipelajari dan dilatih. Selain itu kematangan atau ketidakmatangan juga bisa terkikis dan menular. Bayangkan betapa menyedihkannya bila menyaksikan seorang yang sudah berangkat matang, kemudian merosot karena berada di lingkungan yang bobrok. Seorang ahli psikologi sosial bahkan menuliskan bahwa kematangan atau ketidakmatangan bisa merupakan ciri sekelompok orang, misalnya kelompok orang yang terlalu fanatik sehingga mempunyai keyakinan-keyakinan yang tidak obyektif lagi ataupun kelompok orang yang mempunyai norma yang jelas-jelas sudah tidak diterima masyarakat tetapi tetap membenarkannya. Bahkan bangsa tertentu juga bisa secara tidak matang menentukan arah politiknya, sehingga mengakibatkan penderitaan jutaan orang.
Pertajam Kesadaran
Seorang teman saya, membutuhkan waktu sangat panjang untuk meninggalkan pekerjaannya yang sangat nyaman namun tidak memancing tanggungjawab, bahkan memperlakukannya sebagai robot. Pekerjaannya demikian bertumpuk, sehingga selama lebih dari 5 tahun, ia tidak punya kesempatan menampilkan kemampuannya untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Ketika ia memberanikan dirinya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, ia merasakan banyak kekurangan dirinya, baik dalam ketrampilan teknis dan juga hubungan interpersonal. ”Saya merasa dibutakan dalam lingkungan yang nyaman. Saya merasa ketinggalan” katanya. Untung saja teman kita ini masih mempunyai kemampuan untuk menyadari kekurangan dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri.
Hal yang sering terjadi adalah bahwa kenyamanan lingkungan kerja dapat menyebabkan orang tidak berani keluar dari lingkungan tersebut, memelihara sikap kebal dan pengecutnya, bahkan mengembangkan imaturitasnya sampai tua. Tumpulnya kesadaran yang dipelihara sering menyebabkan ketidakmampuan individu untuk berdialog dengan hati nurani atau katahatinya, sehingga ia kehilangan kacamata obyektif dan positifnya dan memang ”dibutakan” dari relitas.
Perkuat Sifat Ksatria
Tindakan ”hara-kiri” (bunuh diri demi kehormatan) memang sudah tidak banyak terjadi di Jepang, negara di mana kebiasaan itu dilakukan oleh para Samurai di jamannya. Di jaman modern ini, mungkin budaya seperti itu tampil dalam bentuk budaya ”shame and guilt” alias malu, seperti.tindakan mengundurkan diri pejabat yang bertanggung jawab terhadap kejadian yang merugikan atau mencelakakan orang lain atau negara, sekedar untuk membuktikan sikap ksatrianya . Seorang ”guru” mengatakan”Maturity is humility. It is being big enough to say, ‘I was wrong’. And, when right, the mature person need not experience the satisfaction of saying, "I told you so."
Berbeda dengan prestasi, individu memang tidak bisa ”pamer kematangan” dengan mudah, tetapi harus membuktikannya dengan tindakan yang teruji. Sikap obyektif, positif, bertanggungjawab dan matang emosi hanya bisa ditakar dalam hati. Bila seorang pimpinan ingin bersikap bijaksana, adil dan ”fair”, maka ia perlu menyelesaikan pergulatan dan konflik internalnya di dalam hati dan tidak menyatakan keras-keras,”Saya mengambil keputusan yang bijaksana, loh”. Kita, bangsa Indonesia, memang pintar-pintar, tinggal pe-er di depan mata adalah menjadi bangsa yang matang. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 10 Mei 2008)