Dengan berlimpahnya informasi dan akses ke berbagai media, mata kita betul-betul jadi semakin terbuka lebar terhadap adanya berbagai masalah. Kita semakin menyadari bahwa tiada hari di mana kita terbebaskan dari ‘masalah’, baik yang baru mencuat atau ‘cerita lama’ yang tidak kunjung terselesaikan. Mulai dari masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, juga hankam. Mulai dari yang ringan sampai yang pelik. Mulai dari yang ‘lokal’ seperti pembangunan jalur busway, angin puting beliung, konglomerasi, monopoli, lumpur lapindo, sampai yang ‘global’, seperti melonjaknya harga minyak, politik dunia, juga perubahan cuaca akibat pemanasan global. Akibatnya, masyarakat kita kini semakin waspada dan sadar tentang transparansi, juga semakin mendesak menyuarakan urgensi terhadap penyelesaian berbagai masalah yang ada.
Komentar di milis, blog, koran bermunculan, bahkan demo. Apakah kita lihat masalahnya selesai? Tidak juga. Sebaliknya, bila kita sejenak “masuk kedalam sepatu” dan berempati pada para pejabat dan pengambil keputusan, kita juga sebenarnya akan mengerti betapa ribetnya situasi karena banyaknya masalah yang bermunculan, terbengkalai, terlupakan, disembunyikan atau sengaja terabaikan sehingga tiba-tiba ‘meledak’, tidak tergarap, tercatat, atau terkontrol.
Jangan Menutup Mata akan Adanya Masalah
Memang ada masalah yang sudah bisa diantisipasi, seperti banjir yang merendam jalan tol menuju bandara sebagai akibat upaya reklamasi yang tidak bertanggung jawab, namun banyak sekali situasi di mana para eksekutif dan pejabat dihadapkan pada situasi yang bukan saja tidak teramalkan, tetapi juga sangat dinamis. Meledaknya konsumerisme, urbanisasi, merendahnya martabat, turunnya mutu pendidikan, adalah sebagian contoh dari hal-hal yang tidak teramalkan secara normal, tidak dapat dianalisa melalui rumus-rumus yang sudah ada, apalagi di kendalikan. Hal yang sebenarnya di atas kertas bisa diramal, seperti korelasi antara jumlah kursi di seluruh perguruan tinggi dengan penyediaan tenaga kerja profesional, pada kenyataannya, sulit diterangkan dengan analisa biasa. Rasanya tidak “fair” bila kita beranggapan bahwa hal ini hanya dialami di negeri kita. Beragam masalah ”ill-defined” (tidak terumuskan dengan peta yang matematis), ambiguous, novel atau baru, yang kita tengah hadapi, pun dihadapi oleh beberapa eksekutif, pejabat dan pembuat keputusan di tempat dan negara lain.
Tantangan kita, yang bisa kita kerjakan sekarang sesungguhnya adalah peningkatan kesadaran tentang adanya masalah. Bila masalah belum selesai, ini akan tetap menjadi pe-er dari tim atau eksekutif yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sayangnya, masalah sering dilihat oleh berbagai pihak di dalam organisasi sebagai sesuatu yang perlu dijauhi. ”Nanti kalau saya buka mulut, dianggap ‘rese’ lagi”, atau ”Nanti kalau saya angkat masalah ini, saya disuruh menggambarkan secara detil, bahkan dibebani pekerjaan tambahan...” . Sikap seperti ini menyuburkan terkuburnya masalah, dihalalkannya ter-pending nya suatu keputusan, dan tidak tuntasnya implementasi dari suatu keputusan. Komunikasi mengenai identifikasi masalah yang masih “pending” dan keberadaan masalah baru rasanya masih bisa ditingkatkan di setiap instansi. Dengan demikian ”sense of urgency” dan akuntabilitas setiap anggota tim pun tetap terjaga. Andaikata saja setiap instansi di negara ini mempunyai kesadaran untuk bersikap “alert” begini, pasti sikap kita lebih percaya diri, gesit dan optimis.
Kita bisa mengambil perumpamaan dari lini produksi di Toyota. Toyota adalah perusahaan yang tidak takut salah, tetapi percaya bahwa masalah adalah kesempatan untuk berkembang. Dalam produksi, ada sistem di mana setiap karyawan boleh menarik ‘andon cord’, yaitu semacam alarm, untuk menandakan adanya masalah. Hanya dengan cara inilah setiap orang dalam tim meningkatkan “alertness” terhadap bahaya turunnya kualitas dan mengantisipasi munculnya masalah yang lebih besar lagi. Hal yang paling penting di sini, adalah bahwa setiap individu diajarkan untuk mengidentifikasikan masalah dan kemudian mengontrol penyelesaiannya.
Mengambil Tindakan dengan Belajar dari Pengalaman Masa Lalu
Banyak yang berkomentar, “Ke mana sih para ahli kita?”, ”Bukankah kita sudah ”benchmark” dari negara lain? Sarjana kita sudah belajar di luar negeri, melakukan studi banding ke negara lain?”. Memang, ada ungkapan ”easier said than done”, lebih mudah bicara daripada mengimplementasikannya. Namun, antara kemampuan analisa dan belajar tentang hal baru dengan tindakan mengimplementasikan solusinya adalah ’cerita’ lain.
Inteligensi praktis biasanya tidak didapatkan di bangku kuliah. Seseorang yang memiliki kemampuan praktislah yang bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada, sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pertanyaan kita adalah, apakah kita menyadari bahwa pengambilan keputusan, pemecahan masalah juga memerlukan latihan dan praktek? Bisa saja kesalahan, pengalaman masalah-masalah serupa yang lalu, tidak diolah dan tidak dianggap sebagai ”cues” untuk menemukan pola pemecahan masalah yang akan datang. Singkatnya, kita mungkin sekali tidak ”belajar” dari masa lalu pengalaman sendiri, sehingga kapasitas untuk meramal, me –rabarasa, mengantisipasi, membuat taktik menjadi lebih tajam dan tepat tidak keluar dengan optimal. Sebagai akibat kita cenderung mengandalkan ”orang luar” , konsultan atau ahli yang belum tentu juga berpengalaman, dan menunda penyelesaian masalah yang menjadi tanggung jawab dan akuntabilitas kita sendiri.
Bergerak, Lakukan Sesuatu!
Tak jarang kita lihat digelar khusus forum-forum di media yang tujuannya untuk menyuarakan masalah, menampung masalah, mendengarkan masukan, namun ujung-ujungnya menjadi forum yang mencaci maki dan menyudutkan suatu pihak, sehingga segera saja juga forum itu pun menjadi forum bela diri, bahkan forum cuci tangan.
Memang, bila kita melihat masalah sebagai ’masalah’, segera saja tubuh kita berespons negatif dan menjadi lemah lunglai. Namun, bila kita optimis memandang masalah sebagai ’tantangan’, ’alarm’, maka segera saja tubuh kita menciptakan energi yang membuat langkah kita lebih ringan. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa pemecahan masalah itu sulit, tapi kita tidak boleh membiarkan diri kita tidak bergerak. Pilihan terbaik kita adalah mengambil tindakan, mengembangkan intuisi, penginderaan, berlatih dan senantiasa bergerak. Ingat-ingat saja kalimat ini: Jika tidak dimulai, tidak akan pernah tercapai/terselesaikan. Jika bukan sekarang, kapan? Jika bukan di sini, di mana? Jika bukan Anda, siapa lagi?
(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)