Dalam sebuah pertemuan bertemakan kepemimpinan, seorang GM dari perusahaan properti raksasa mengeluhkan pekerjaannya yang “overloaded”. Tantangan kerjanya dirasa bertambah memusingkan karena ia harus menservis beberapa atasan dengan kemauan yang berbeda-beda dan berubah-ubah, sementara bawahan pun tidak bisa dilepas. Di balik keluhan teman kita mengenai beban dan tanggung jawab yang bertumpuk ini, sesungguhnya ia mengemukakan pula rasa frustrasi atas tidakberhasilannya mengelola waktu yang hanya 24 jam, agar semua pekerjaan tuntas.
Saat sekarang, di mana hampir semua pekerja dan manajer tidak bisa menghindar dari tuntutan pasar, persaingan dan beban kerja yang bertumpuk, rasanya masalah ‘time-management’ semakin usang untuk dibicarakan, karena hanya orang-orang dengan load sedang saja yang masih bisa memikirkan pengelolaan waktu yang normal. Di jaman “hectic” begini, hampir tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilaksanakan santai-santai. Jam kerja yang seringkali terpaksa diperpanjang pada akhirnya memunculkan gejala jenuh, lelah, letih dan sakit pada para professional di perusahaan yang justru produktif. Saat waktu semakin sulit dikelola, sementara tantangan di depan mata wajib kita garap, di manakah ruang bagi kita untuk menjaga bahkan meningkatkan produktivitas?
Jangan Lupakan Sumber Enerji Paling Canggih: Manusia
Di saat banyak perusahaan menuntut karyawan untuk memperpanjang jam kerjanya di jaman ‘hectic’ begini, teman dekat saya, seorang pimpinan perusahaan, membuat kebijakan mematikan lampu dan pengatur suhu ruangan tepat pukul 8 malam. Jadi, silakan pulang sebelum jam 8 malam. Komentar teman saya, “Waktu tidak akan berubah jumlahnya, tetap 24 jam, tapi enerji manusia berubah-ubah. Energi kita bisa berkurang, bisa berlipat ganda, tergantung pintar-pintar kita mengaturnya.”
Kalau dipikir-pikir, kita umat manusia yang bersibuk dengan konservasi enerji, penghematan enerji dan berinovasi dengan pemanfaatan tenaga surya, panas bumi, nuklir, dan lain-lain, seringkali lupa pada sumber enerji yang paling canggih dimuka bumi ini, yaitu ’MANUSIA’-nya sendiri. Betapa kita tahu bahwa enerji bisa berlipat kalau kita bersemangat, tetapi juga akan kendor bila berada dalam situasi yang tidak kondusif. Betapa banyak “jokes” dan ejekan sinis terhadap manusia Indonesia yang katanya hemat kerja otak dan hemat tenaga karena banyaknya orang upahan, sehingga pemikiran mengenai enerji pribadi termasuk dalam urutan “buntut”.
Bicara enerji pribadi, kita pasti pernah mengenal seseorang yang ‘tidak ada matinya’ dalam bekerja, berstamina kuat, daya pikir tajam, emosi stabil dan tetap ”enjoy” berkarya di tengah pekerjaannya yang menggunung. Ibarat mesin, kapasitasnya besar dan produktivitasnya tinggi. Teman saya, ketika ditanya darimana saja datangnya enerji tersebut, mengatakan bahwa enerjinya datang dari “passion” dan “keharusan” untuk menggarap hal-hal yang belum selesai atau tidak beres. Semua “pending matters”, tugas, tantangan, dan permintaan dianggap proyek yang harus dituntaskan. “Karena saya betul-betul ingin menuntaskannya, maka saya bergerak”.
Seorang ahli yang memang menyetujui bahwa enerji pribadi memang perlu dikelola, di ‘strategize’ dan diatur mengatakan bahwa sumber enerji pada manusia ada pada fisik, emosi, pikiran dan spiritnya. Dalam tiap unsur ini enerji dengan mudah bisa direntang tidak berbatas. Agar tidak mudah kehilangan spirit, kita rasanya perlu untuk selalu bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang paling penting dalam hidup kita, yaitu nilai-nilai pribadi. Dengan memahami hal yang penting dalam hidup kita, rasanya kita tidak perlu didorong-dorong untuk melakukan tugas kita, sehingga akan lebih hemat enerji.
Enerji Bisa ’Diisi Ulang’
Hal yang saya amati adalah bahwa gejala lesu dan lemah justru sering dialami dan diderita oleh mereka yang tidak rajin berolah raga, tidak gesit dan tidak senang bergerak. Gelaja sering menguap, tidak tenang, sulit berkonsentrasi ini disebabkan karena reservoir enerji kita sedang terkuras. Masalahnya adalah bahwa sebenarnya reservoir ini bisa diisi terus kalau individu menyadari bahwa ia mampu mengisi ulang enerjinya. Kebiasaan seperti berdiri dan menghentikan pekerjaan beberapa menit, sebenarnya melemaskan tidak saja otot tubuh tetapi juga otot-otot yang berada di dalam otak. Itulah sebabnya mengapa ide-ide kreatif biasanya justru muncul pada saat kita tidak menghadapi layar komputer atau kertas kerja kita.
Beberapa teman yang tiba tiba “dicopot” dari jabatannya saya amati bagai orang yang menjadi tidak sabar dan cepat marah. Di sini terbukti bahwa suasana hati atau emosi yang positif benar-benar memproduksi enerji lebih. Ini juga alasan mengapa banyak orang berusaha untuk membina hubungan dengan bawahan dan teman kerja secara lebih kental, agar juga mendapat kesempatan untuk melihat masalah dari berbagai persepsi dengan lebih jelas, logis, dan reflektif.
Waspadai dan Optimalkan Teknologi
Budaya telpon genggam dan pengelolaan beberapa telpon sekaligus tanpa kita sadari membuat “alertness” kita dituntut 24 jam /7 hari. Ini baik untuk beberapa situasi, misalnya budaya servis yang memang dituntut untuk waspada 24 jam. Namun, bagi individu yang kurang mampu mengelola enerjinya melalui media lain, hal ini bisa menyebabkan daya pikirnya tidak pernah beristirahat, sehingga ia sulit berfokus lagi. Ada penelitian yang mengatakan bahwa rapat-rapat yang memperbolehkan pesertanya menghidupkan email dan ponsel akan berlangsung 1-2 jam lebih lama dari yang seharusnya. Jadi sebetulnya, tidak ada salahnya kita meninjau kembali penggunaan ponsel dan komputer kita, misalnya tidak membawa komputer dalam rapat dan tidak menyalakan ponsel selagi bertatap muka. Selain hal ini meredakan fungsi pikir, situasi ini juga membuat kita bisa lebih menikmati tatap muka dan berfokus pada situasi, body language dan proses merespek lawan bicara dan menyimak yang lebih baik.
(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)