Pernahkah Anda mengikuti suatu pelatihan, tetapi Anda merasa apa yang terjadi kedaan trainernya begitu memprihatinkan, tampak grogi, kurang percaya diri sehingga apa yang disampaikan menjadi begitu membosankan? Atau pernahkah Anda mengikuti suatu pelatihan yang dari awal hingga akhir, Anda merasa seperti mengkuti acara Srimulat yang penuh dengan tawa dan canda. Semua peserta tampaknya menikmati. Tapi, di akhir pelatihan tersebut Anda tahu bahwa Anda tidak belajar apapun. Bagaimana dengan pelatihan atau seminar yang dipromosikan dengan luar biasa. Namun, dari awal hingga akhir acara tersebut, Anda hanya mendengarkan sang trainer mempromosikan dirinya tetapi tidak memberikan apapun bagi Anda untuk dibawa pulang. Atau pernahkah Anda mengalami yang saya alami ini. Seorang trainer dari awal hingga akhir membawakan game demi game, seolah-olah hanya untuk mengisi waktu bahkan tidak menjelaskan mengapa game-game tersebut dimainkan.
Tulisan kali ini akan membahas mengenai 3 fase perkembangan seorang trainer dilihat dari 2 sisi: jam terbang dan orientasi mengajarnya. Memang, harus kita akui, gaya serta cara mengajar seorang trainer dengan trainer yang lain, bisa berbeda dan bertolak belakang. Kita mengenal gaya Stephen Covey yang menekankan pada ‘kedalaman isi’, gaya Anthony Robbins yang sangat antusiastik, gaya Zig Ziglar dengan banyak menggunakan ilustrasi dan cerita pendukung, ataupun gaya Mark Victor Hansen serta Jack Canfield dengan gaya storytelling-nya yang sangat menyentuh perasaan. Lepas dari berbagai gaya maupun cara yang mereka lakukan, yang jelas dari mereka semua dapat dikatakan satu hal, training mereka menarik karena mambuat pesertanya belajar sesuatu dan berubah!
Oleh karena definisi psikologi pendidikan mengenai pembelajaran adalah berubah, maka singkatnya, apapun cara, metode maupun penampilan trainer, tujuannya adalah satu: peserta harus belajar sesuatu! Celakanya, inilah masalah yang klasik dalam pelatihan, yakni si trainer terlalu berorientasi bagaimana cara dia harus menampilkan dirinya atau bagaimana menyenangkan pesertanya, sehingga dia lupa dengan apa yang pokok dalam suatu pelatihan: pembelajaran.
Untuk itulah tulisan ini secara langsung akan menyoroti 3 fase perkembangan seorang trainer, dari fase awal hingga fase terakhir, sampai pada tahapan dimana seorang trainer sudah mencapai tahap kematangan penuh. Mari kita membahas satu demi satu fase tersebut.
Fase 1: fase orientasi diri.
Fase ini, banyak dialami oleh mereka yang baru memulai mengajar di depan kelas. Mereka kadang terlalu memikirkan bagaimana harus menampilkan diri sehingga justru membuat mereka tidak rileks dan kelihatan kurang pe-de. Perhatian mereka adalah diri mereka sendiri. Soal pembelajaran peserta, menjadi urusan kesekian. Pada tahapan ini, mirip dengan kontes perhatian.
Sebenarnya, tidak ada yang buruk pada tahapan ini. Fase inilah fase yang harus dilewati oleh seorang trainer pemula untuk melatih bagaimana ia menjadi ‘sadar’ dengan dirinya serta bagaimana ia harus membawakan, menampilkan serta menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Namun, jika setelah puluhan tahun mengajar dan orientasi seorang trainer masih pada tahapan ini, maka pertumbuhan dirinya juga stagnan. Karena itu, tantangannya adalah menuju ke fase ke-2, fase orientasi pada peserta.
Fase 2: orientasi pada peserta.
Pada fase ini, orientasi seorang trainer mulai bergeser dari yang tadinya cuma berpusat pada dirinya menjadi bergeser pada perhatian pada pesertanya. Lingkar pengaruh sang trainer mulai berkembang. Pada tahapan ini, sang trainer mulai berpikir, bagaimana membuat peserta merasa senang. Sebuah harapan yang sebenarnya mulia. Namun, oleh karena orientasinya adalah membuat peserta merasa senang, kadang materinya pun terabaikan. Ada yang menghabiskan waktunya dengan lawakan-lawakan atau permainan-permainan sehingga peserta dari sisi afektif, merasa senang tetapi dari sisi ketrampilan tidak mendapatkan hal yang penting. Tentu saja, tahapan ini bukanlah hal yang buruk. Semua trainerpun harus melewati tahapan ini. Sebab inilah tahapan yang membuat seorang trainer belajar sensitif dan memfokuskan atensinya pada upaya menarik dan menjangkau pesertanya. Namun, seorang trainer tidak boleh berhenti pada tahapan ini saja.
Fase 3: orientasi pembelajaran.
Inilah fase tertinggi pada tahapan perkembangan seorang trainer. Pada tahapan ini, seorang trainer akan berpikir ‘sangat keras’ bagaimana caranya agar pesertanya sungguh pulang dengan membawa sesuatu yang baru. Meskipun semua trainer pasti mengatakan bahwa mereka mengajarkan sesuatu, namun jika memasuki tahapan ini, seorang trainer tahu bahwa tantangan baginya adalah: (1) memvariasikan proses metode pembelajaran ssehingga semua tipe peserta bisa mendapatkan seesuatu; (2) memberikan tips dan trik yang mudah ditangkap; (3) menjelaskan ‘why’ (mengapa), serta ‘how’ untuk diaplikasikan setelah kembali ke tempatnya. Pada fase inilah seorang trainer, akan melupakan egonya, mencoba memahmi pesertanya, merencanakan pelatihannya serta memvariasikan metode agar semua peserta bisa belajar sesuatu dari topiknya.
Dalam bukunya yang laris dibaca oleh para trainer, “Speak and Grow Rich”, Dottie Walters dan Lilly Walters menuliskan nasihat berikut ini sebagai salah satu tips menjadi trainer yang berpenghasilan tinggi, “From the topics you are passionate about, ask yourself, which of the subjects will audience pay since they will learn more about?” (Dari topik yang menggarirahkan Anda, apakah subjek yang akan peserta bayar oleh karena mereka akan belajar banyak). Semoga tulisan ini menginspirasi kita untuk menjadi trainer yang oleh Anthony Robbins disebut sebagai CANI (Continuous And Neverending Improvement) trainer.
Sumber : hrexcellency.com