Tiger Woods memang fenomenal. Tidak saja bertahan bertahun-tahun di urutan pertama pegolf dunia, namun juga meraih prestasi itu di umur sangat muda. Sebagai akibatnya, jadilah ia manusia yang diidolakan banyak penggemar di seluruh dunia: muda, kaya, terkemuka.
Dan sebagaimana pohon yang menjulang naik tinggi, pada waktunya ia akan roboh. Tiger Woods juga roboh diterpa isu. Tidak saja banyak media memberitakannya sangat miring, nyawanya bahkan nyaris melayang oleh kecelakaan mobil.
Melaui cerita ini, terlihat jelas sekali, tidak saja miskin butuh persiapan, kaya dan terkemuka juga butuh persiapan. Tanpa persiapan kematangan, kedewasaan, kebijaksanaan yang cukup, salah-salah kekayaan dan keterkenalan bisa berubah menjadi kutukan. Tidak sedikit manusia yang runtuh oleh kekayaan dan keterkenalannya.
Laki-laki umumnya, terpaksa setia pada istri ketika miskin. Maklum, tidak ada uang untuk ongkos selingkuh. Namun, begitu uang berlimpah, kesetiaan terbang seringan bulu ayam. Sebagian wanita luarbiasa setianya pada suami bila memiliki banyak kekurangan. Namun sebagian wanita yang menggendong banyak kelebihan (cantik, kaya, terkemuka) membuat suaminya merana.
Tidak ada yang melarang manusia mengejar kelebihan dan kemajuan. Namun bercermin dari kehidupan yang runtuh oleh kelebihan seperti Tiger Woods, mungkin ini saat yang tepat untuk merenung dalam-dalam agar kelebihan tidak berubah menjadi kutukan.
Di Timur ada cerita tentang seorang pendekar yang rendah hati. Suatu hari, pendekar ini harus pulang kampung. Namun di gerbang masuk desa ia dihadang dan ditantang berkelahi oleh sejumlah anak muda pemabuk dan penodong. Sadar akan lawannya di depan, pemegang sabuk dan tiga ini hanya senyum-senyum membungkuk menolak untuk berkelahi.
Karena menolak berkelahi, maka pemabuk-pemabuk tadi memberi syarat yang tidak bisa ditawar. Bila mau masuk desa, ia harus lewat di bawah selangkangan kaki semua begundal. Dasar pendekar dengan pemahaman ilmu bela diri yang mengagumkan, dengan enteng tanpa beban ia menyediakan dirinya merangkak melewati banyak selangkangan berandalan.
Beberapa malam kemudian, desa ini didatangi ratusan perampok berkuda yang mau menjarah harta penghuni desa. Dengan entengnya pendekar tadi melayani perkelahian duel satu lawan satu, kemudian mengusir semua perampok hingga lari tunggang langgang. Kagum dengan kemampuan berkelahi seperti ini, salah satu begundal yang beberapa hari sebelumnya memaksanya untuk merangkak di bawah selangkangan kaki bertanya: “kenapa tidak menunjukkan jurus bela diri ketika dihadang di gerbang desa?”.
Dengan tersenyum rendah hati ia menjawab, kelebihan dan kemampuan bela diri ada tidak untuk dipamer-pamerkan. Apa lagi dipamerkan untuk memuaskan ego. Kelebihan ada untuk melindungi dan melayani kehidupan. Inilah cahaya pengertian menawan yang menghindarkan kelebihan berubah menjadi kutukan. Gunakan kelebihan sebagai kendaraan pelayanan. Dalam bahasa guru-guru Timur, belajar bela diri berarti belajar menjadi rendah hati.
Itu sebabnya, ketika seorang guru karate di pulau 0kinawa Jepang ditanya apa arti karate, dengan tersenyum ia menjawab: “karate means keep smiling all the time”. Karate berarti belajar selalu tersenyum dalam kehidupan. Dan ketika salah seorang muridnya siap-siap berkelahi dengan seorang tentara Amerika yang sedang mabuk, dengan tangkas guru ini melarang muridnya berkelahi. Kemudian memeluk tentara Amerika tadi dengan senyuman: “Selamat datang di 0kinawa. Semoga Anda berbahagia!”.
Dengan cara ini, tidak saja perkelahian dan pembunuhan bisa dihindarkan, namun kelebihan tidak berubah wajah menjadi kutukan.
Penulis : Gede Prama
Sumber : topmotivasi.com