“Ada apa Nasrudin, pagi-pagi kok sudah panik? Kenapa wajahmu pias begitu, seolah dunia mau kiamat?”
“Yah, memang dunia mau kiamat, Baginda. Tuhan sedang murka kepada dunia, Tuhan akan membinasakan kita semua!”
“Lho, kok berkesimpulan begitu?” tanya raja.
“Baginda, begitu bangun dari tidur, aku merasa dunia sangat bau. Di mana-mana tercium bau busuk. Di kamar, bau. Kudekati istriku, bau juga. Di kamar tamu, sama saja, semua bau. Aku keluar rumah, ternyata sekelilingku juga bau. Pohon-pohon bau, rumput bau, pagar bau, tetangga bau, semua membusuk. Celaka baginda, Tuhan mulai menghukum dunia, semua akan kiamat!”
“Hmm … tenang Nasrudin, tenang. Tarik nafasmu baik-baik. Minum dulu,” raja menghibur seraya mengangsurkan segelas air.
Sesudah Nasrudin agak tenang, raja berkata lagi, “Sekarang, pergilah ke kamar mandi dan bersihkan dirimu. Dan yang terpenting, bilas kumismu yang lebat itu!”
Nasrudin pun menuju kamar mandi. Seluruh kepala dan wajahnya dia bilas dengan sabun wangi. Dan aneh bin ajaib, tak ada lagi bau busuk. Dia bingung, semuanya normal kembali. Bahkan, yang tercium sekarang cuma semerbak wangi.
Nasrudin kembali menghadap raja, “Baginda, ini tak masuk akal, ke mana bau busuk tadi?”
Raja tertawa terpingkal-pingkal. “Ha ha ha … Nasrudin ... Nasrudin ...., sebenarnya tidak ada yang bau. Bau busuk yang kamu cium sejak subuh tadi sebenarnya berasal dari kumismu. Coba ceritakan, semalam kamu tidur di mana, tidur dengan siapa, sehingga kumismu bau begitu?”
Terperanjat, perlahan-lahan Nasrudin mulai ingat kejadian semalam. Ketika hampir nyenyak, entah bagaimana asal mulanya, anak bungsunya yang berumur sekitar 3 tahun memegang kotorannya sendiri, lalu memoles-moleskannya ke kumis sang ayah. Itulah biang bau yang membuat Nasrudin sangat panik.
Demikianlah Nasrudin kembali ke rumahnya dan yakin bahwa dunia tidak sebusuk yang dia bayangkan.
Kita sering melihat dunia ini kotor dan jorok, mencium negeri ini busuk dan tengik, atau merasa bangsa ini kumuh dan kacau. Mungkin itu benar, tapi mungkin juga tidak. Bisa jadi perasaan, penglihatan, dan penciuman semacam itu cuma disebabkan ‘kumis’ kita cemar.
Karena itu hendaklah kita rutin membersihkan kumis sendiri. Itu berarti kita harus membebaskan diri, hati, dan pikiran kita dari prasangka-prasangka negatif, konsep-konsep yang belum tentu benar, teori-teori yang belum terbukti, atau kabar-kabar kabur sebelum kita menilai dan menghakimi sesama, orang lain, dan dunia ini.
Jika kita menggunakan indera yang suci niscaya kita akan melihat perkara-perkara yang suci pula. Dengan cara begitu kita bahkan dapat melihat Tuhan dengan segenap rahmat, berkat, dan anugerah-Nya yang berkelimpahan.
Orang kadang bertanya: di manakah Tuhan sang mahamurah itu? Di manakah Dia sang pengasih lagi penyayang itu? Ada pula yang berpikir: pekerjaanku bukan karunia-Nya, melainkan usahaku sendiri saja. Namun, bisa jadi pendapat demikian berasal dari “kumis” yang terkontaminasi. Orang bijak bilang: kalau kita menjernihkan hati dan membeningkan jiwa maka kita akan melihat the invisible hands of God yang memelihara, menuntun, dan membantu kita. Kita akan melihat begitu banyaknya rahmat di dalam dan melalui pekerjaan kita. Mata batin yang bening mampu melihat sampai ke jantung persoalan dan ke hakikat kenyataan yang terdalam. Itulah yang menuntun kita untuk bergaul mesra dengan rahmat, hidup tuntas dalam anugerah, dan berkolaborasi erat dengan roh kebaikan semesta sehingga kita mampu menikmati, bahkan turut memproduksi pelbagai kebajikan. Itulah esensi Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku berkerja tulus penuh rasa syukur.
Makna lain cerita ini tentu masih banyak. Silahkan petik buat diri sendiri sebagai bonus. Viva bonum!
Oleh : Jansen H. Sinamo & Hendri Bun