“SEGALA hal yang telah dilakukan oleh harapan,” kata Martin Luther. “Harapan, barangkali adalah kebahagiaan utama yang dapat dicapai oleh dunia ini,” kata Samuel Johnson.
Satu hal sudah pasti. Tidak ada individu maupun masyarakat yang bisa lestari tanpa harapan. Harapan adalah mekanisme yang menjaga agar umat manusia dengan gigih mempertahankan hidup dan mengkhayal, merencanakan, serta membangun. Harapan bukanlah lawan realisme. Harapan adalah lawan sinisme dan keputusasaan. Umat manusia yang sebaik-baiknya selalu memiliki harapan ketika tidak ada jalan lagi; menghayati hidup yang sudah tak terhayati; dan berhasil membangun ketika sedikit sekali yang bisa digunakan untuk membangun.
Itulah sikap manusia hidup yang dialami dan sehat. “Hati yang gembira mendatangkan kebaikan peserti obat,” demikian makna yang tertulis dalam Kitab Amsal. Pengetahuan kuno ini mendapat pengukuhan baru dalam zaman kita. Ini ditemukan sesudah Perang Dunia II, misalnya. Tawaran perang Amerika yang merasa yakin bahwa dirinya akan keluar dari perang hidup-hidup, yang pikirannya dan semangatnya dipusatkan pada kehidupan sebagaimana akan dihayati di masa datang, berhasil selamat dengan cedera yang jauh lebih sedikit daripada mereka yang merasa tidak mungkin bisa pulang lagi.
Psikiater Flanders Dunbar pernah menulis tentang dua orang pasien kardiovaskuler dengan keparahan yang sama. Pasien yang satu berkata, “Ini semua terserah kepadamu, Dokter.” Sedangkan yang lain berkata, “Saya harus melakukan sesuatu untuk bisa sembuh.” Pasien yang pertama meninggal; dan yang kedua berhasil sembuh.
Dr. Martin E. P. Seligman, dari Universitas Pennsylvania, telah melakukan eksperimen mengenai penyebab tekanan jiwa, kekalutan yang mempengaruhi berjuta-juta orang setiap tahun. Dia telah menemukan bahwa orang yang tertekan jiwanya menganggap setiap halangan kecil sebagai hambatan yang tidak bisa ditembus. Menanggapi apa saja terasa tidak ada gunanya karena “tidak ada suatu apa pun yang saya lakukan ada artinya.” Terapi yang berhasil, katanya kepada saya, dimulai ketika kita mulai merasa yakin lagi bahwa kita bisa menjadi manusia yang efektif dan bisa mengendalikan kehidupan kita.
Juga, berapa banyak kita berani berharap tentang diri kita mempengaruhi bagaimana kita berperilaku terhadap orang lain. Kita semua berurusan dengan jenis manusia yang dimaksudkan oleh penyair A. E. Housman ketika dia menulis tentang “penyakit jiwa yang terlalu tidak bahagia sehingga tidak bisa berbaik hati.” Manusia yang punya harapan melihat manusia lainnya sebagaimana yang bisa dicapai oleh dirinya, dan dengan demikian mau menolong mereka.
Seorang laki-laki yang saya kenal punya istri pecandu minuman keras. Berulang kali si istri mengecewakannya. Tetapi si suami tidak pernah kehilangan harapan. Pada suatu malam, si istri mempermalukannya di hadapan teman-teman lama. Sesudah itu si istri menangis. “Mengapa kau tidak meninggalkanku?”, dia bertanya kepada suaminya sambil menangis. “Sebab aku tidak melupakan seorang wanita yang cantik sekali. Dan aku yakin dia masih cantik.” Akhirnya si istri sembuh dari kebiasaannya.
Tetapi bukankah harapan mengkhianati kita tiap hari? Bukankah bagi banyak orang harapan hanya seperti siulan dalam gelap? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu kita hanya perlu mengatakan apa yang selama ini kita ketahui. Harapan selamanya merupakan perbandingan melawan ukuran yang jauh lebih besar. Damon Runyon, seorang pengarang terkenal, pernah mengatakan, “Hidup adalah perbandingan enam lawan lima.” Memang selamanya begitu. Semua kehidupan adalah pertarungan antara terang dan gelap, antara kegembiraan dan kesedihan. Walaupun demikian, kebanyakan dari kita menaruh harapan, hampir sepanjang waktu.
Mengapa? Barangkali karena harapan adalah hal yang alami pada manusia. Kita menjadi manusia baru setiap pagi, sebab entah dengan cara apa, pada suatu saat setelah lewat tengah malam kita muncul melesat dari kegelapan impian dan memulai dari awal lagi. Saya teringat kepada seorang laki-laki yang begitu terpukul oleh kesedihannya – istrinya lari dengan laki-laki lain, seorang anaknya masuk sekolah anak nakal, dia sendiri menderita sakit yang melumpuhkan, dan akhirnya rumahnya hampir habis dilalap api – sehingga dia mencoba bunuh diri. Walaupun demikian, keesokan paginya sesudah percobaan bunuh diri, dia bangun tidur dan mengatakan kepada seorang teman yang ketika itu kebetulan sedang duduk bersamanya, “Alangkah indah hari ini! Ketahuilah, kurasa aku masih bisa membangun rumah lagi.” Kehidupan itu sendiri sudah mengalir lebih cepat di dalam dirinya.
Kita berharap lagi sama alaminya dengan tumbuhnya tunas dari biji dan terbitnya matahari, dan barangkali untuk alasan yang sama. Tanda tangan harapan rupanya digoreskan di bumi, langit dan laut serta pada segala-galanya yang hidup. Sel hidup memecah; bunga pohon-pohon menumbuhkan daun; satwa melahirkan anak dan melindungi anaknya – semua berada di dalam semacam harapan kosmis, harapan yang sama, panggilan yang sama menuju masa depan, yang memimpikan cahaya terang matahari dan bentangan langit bertaburran bintang.
Tetapi, walaupun harapan begitu alami dan vital, kita masih bisa kehilangan harapan. Bagi kebanyakan di antara kita, harapan bisa kelelahan sebagaimana hidup kita juga bisa kelelahan. Dapatkah kita diberi tahu bagaimana caranya berharap, atau dibantu untuk mendapatkannya lagi?
Tentu saja kita bisa. Tepatnya karena harapan adalah arus kehidupan yang kita alami, maka secara alami pula harapan terbebas dari kungkungannya dengan menyingkirkan hambatan abnormal yang menahannya. Di bawah ini ada beberapa saran.
Berharaplah untuk saat ini. Ada saat-saat ketika sulit sekali menaruh kepercayaa pada mesa depan, ketika kita untuk sementara tidak cukup berani. Ketika ini terjadi.
Oleh: Ardis Whitman