ANDA pasti ingat dengan kata-kata berikut ini;
”........., Mencuci Paling Bersih”,
”........., Berani Kotor Itu Baik”,
Apakah anda sudah membayangkan sebuah merek sabun detergen yang sangat familiar dengan pasar di Indonesia.
Berikutnya, apakah anda segera nyambung dengan kata-kata berikut ini;
”Terus Terang ...... Terang Terus”
Lalu, apakah yang anda ingat dengan kata-kata;
”Bukan Basa-Basi..”
”Apa kata Dunia..?”
”Bukan Telepon Biasa ..”
Saya yakin mayoritas dari anda, sanggup menebak merek-merek dagang atau institusi yang terwakili oleh kata-kata tersebut diatas. Pesona kata-kata diatas, tidak saja mewakili produk yang dipromosikan, tetapi juga membimbing kita untuk mempercayai pesan-pesan promosi tersebut.
Kata-kata sungguh berdaya. Gabungan-gabungan huruf itu tidak saja bersuara, tetapi juga mampu menggerakan manusia. Kata-kata positif akan membuat pendengarnya optimis, percaya diri, semangat, inovatif, kreatif, energik, bahagia dan sejenisnya.Ada kebangkitan semangat hidup disana. Dunia terasa lebih indah dan seolah-olah lebih menjanjikan.
Coba cermati, kalimat ini; “...., Gigi putih seputih Mutiara”. Perbandingan gigi dengan mutiara adalah perbandingan yang memberikan harapan, kesan positif, optimis dan menyenangkan. Produk yang ditawarkan seolah-olah memiliki kekuatan yang positif untuk hal positif bagi penggunanya.
Sebaliknya, kata-kata negatif dapat membuat kondisi sebaliknya. Pendengarnya akan menjadi pesimis, minder, tidak percaya diri, frustrasi, patah hati, antipati, sedih, kecewa, merana, tercampakkan, teraniaya, terluka atau terkebiri. Hidup terasa hampa, mengalir tanpa warna, tidak ada daya dan tidak ada upaya. Semuanya pasrah, pasrah dan pasrah. Biar nasib yang bekerja sendiri. Inilah konsekuensi logis dan nyata dari pengaruh kata-kata.
Jika kalimat, “..., Gigi putih seputih Mutiara” diatas, kita ganti dengan kalimat, “...., Gigi putih seputih Kapur Tulis”. Bagaimana perasaan anda dengan kalimat terakhir itu? Apakah ada kekuatan positif yang sanggup menggerakan anda dari kalimat itu?
Cerdas Berkata
Menyadari kekuatan kata-kata, pemilihan dan penggunaannya ada baiknya dilakukan upaya penyaringan yang dilakukan terlebih dahulu ketika berhadapan dengan para pelanggan. Kata-kata kurang baik sebaiknya ditelan saja demi menjaga hubungan relasi agar tetap baik. Seorang tokoh besar Inggris, Sir Winston Churchill, punya pribahasa yang tepat soal ini, ‘by swallowing evil words unsaid, no one has ever harmed his stomach.' Denyut perut yang mulas dan menggelisahkan tidak akan terjadi jika kata-kata kurang baik batal diucapkan kepada orang lain.
Bayangkan, jika anda datang ke sebuah toko ingin membeli sesuatu, lalu anda bertanya kepada pelayan tentang satu tipe produk yang anda inginkan dan si pelayan begitu saja segera menjawab, “Wah... maaf itu mahal, sangat mahal”. Begitu anda mendengar kalimat itu, kira-kira apakah anda masih mau bertahan dilayani oleh pelayan toko tersebut?
Kalimat pelayan diatas berpotensi merendahakan diri anda, seolah-olah si pelayan tidak yakin bahwa anda memiliki uang untuk membayarnya, atau paling tidak anda merasa di cap ‘miskin’ oleh si palayan.
Kata-kata positif pada dasarnya diproduksi oleh pikiran yang positif serta batin yang harmonis. Untuk itu diperlukan pelatihan dan pengamatan agar kita mampu memilih dan menyaring kata-kata untuk mendukung sukses bisnis dan pembawaan diri kita. Ingat pepatah lama, mulutmu harimaumu.
Perang Kata
Berbagai jenis iklan sering kita lihat di TV, didengar di radio, dibaca di media cetak, namun yang sangat berpengaruh biasanya iklan yang ditayangkan di TV karena audience dapat langsung menikmati suguhan visual dibandingkan jika harus menghayalkan iklan dari radio atau gambar dua dimensi media cetak. Dari sekian jenis iklan yang ada, ada yang menghibur namun juga ada yang tidak menarik sama sekali.
Terlalu banyak pemasang iklan yang serba memaksakan kehendak agar orang-orang tahu apa produk yang ditawarkan, tanpa menimbang bahwa seseorang menyetujui sesuatu jelas melalui beberapa proses dasar. Seseorang akan setuju, jika ia percaya dan membutuhkannya.
Para orang tua jaman sekarang, percaya bahwa anak-anaknya perlu banyak belajar dengan berbagai pengalaman nyata. Para orang tua membutuhkan media-media agar anak kesayangannya bisa belajar. Proses belajar dengan cara apapun itu baik, termasuk belajar sesuatu dengan konsekuensi tertentu. Jadi orang tua jaman ini tidak keberatan jika pakaian anaknya menjadi kotor, asal anaknya mendapat pejaran penting untuk diri si anak, walaupun harus berkotor-kotor. Disinilah mucul pernyataan berani kotor itu baik.
Iklan yang ditawarkan kepada publik atas pernyataan berani kotor itu baik, ditawarkan dengan visualisasi beberapa anak yang berlajar menjadi montir mobil-mobilan, bermain sepak bola di lapangan berlumpur dan lain sebagainya. Iklan yang muncul berlaku juga sebagai media edukasi kepada publik bahwa kini bukan jamannya lagi khawatir pakaian si anak kotor, karena dibalik kekotoran itu ada pelajaran yang jauh lebih penting. Sementara itu perkara kotor adalah urusan detergen yang diiklankan.
Propaganda dalam iklan terkadang membawa produsen kepada terjadinya perang iklan antar produk. Perang itu kini semakin tajam dan kadang tercium aroma saling menjatuhkan pesaingnya. Saya ingin pastikan bahwa muncul dan sukses dengan ‘cara katak’ – menyodok samping dan menginjak yang dibawah—jelas tidak akan bertahan lama. Menjelekan pesaing untuk meningkatkan kredibilitas diri berpotensi mengundang rasa yang tidak simpati.
Apakah produk itu bagus atau tidak toh kembali kepada konsumen yang menilai. Memang tidak dipungkiri kekuatan iklan juga berpengaruh kepada pikiran seorang konsumen dalam memilih produk. Jika konsumen merasa produk yang dibeli sesuai dengan janji di iklan maka kemungkinan besar dia akan loyal kepada produk tersebut. Sebaliknya jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan janji dalam iklan maka pembeli yang kecewa itu akan mempropagandakan pengalaman jeleknya lewat gerutu dalam perbincangan dengan lingkungnnya maupun melaluisurat pembaca di media massa .
”........., Mencuci Paling Bersih”,
”........., Berani Kotor Itu Baik”,
Apakah anda sudah membayangkan sebuah merek sabun detergen yang sangat familiar dengan pasar di Indonesia.
Berikutnya, apakah anda segera nyambung dengan kata-kata berikut ini;
”Terus Terang ...... Terang Terus”
Lalu, apakah yang anda ingat dengan kata-kata;
”Bukan Basa-Basi..”
”Apa kata Dunia..?”
”Bukan Telepon Biasa ..”
Saya yakin mayoritas dari anda, sanggup menebak merek-merek dagang atau institusi yang terwakili oleh kata-kata tersebut diatas. Pesona kata-kata diatas, tidak saja mewakili produk yang dipromosikan, tetapi juga membimbing kita untuk mempercayai pesan-pesan promosi tersebut.
Kata-kata sungguh berdaya. Gabungan-gabungan huruf itu tidak saja bersuara, tetapi juga mampu menggerakan manusia. Kata-kata positif akan membuat pendengarnya optimis, percaya diri, semangat, inovatif, kreatif, energik, bahagia dan sejenisnya.
Coba cermati, kalimat ini; “...., Gigi putih seputih Mutiara”. Perbandingan gigi dengan mutiara adalah perbandingan yang memberikan harapan, kesan positif, optimis dan menyenangkan. Produk yang ditawarkan seolah-olah memiliki kekuatan yang positif untuk hal positif bagi penggunanya.
Sebaliknya, kata-kata negatif dapat membuat kondisi sebaliknya. Pendengarnya akan menjadi pesimis, minder, tidak percaya diri, frustrasi, patah hati, antipati, sedih, kecewa, merana, tercampakkan, teraniaya, terluka atau terkebiri. Hidup terasa hampa, mengalir tanpa warna, tidak ada daya dan tidak ada upaya. Semuanya pasrah, pasrah dan pasrah. Biar nasib yang bekerja sendiri. Inilah konsekuensi logis dan nyata dari pengaruh kata-kata.
Jika kalimat, “..., Gigi putih seputih Mutiara” diatas, kita ganti dengan kalimat, “...., Gigi putih seputih Kapur Tulis”. Bagaimana perasaan anda dengan kalimat terakhir itu? Apakah ada kekuatan positif yang sanggup menggerakan anda dari kalimat itu?
Cerdas Berkata
Menyadari kekuatan kata-kata, pemilihan dan penggunaannya ada baiknya dilakukan upaya penyaringan yang dilakukan terlebih dahulu ketika berhadapan dengan para pelanggan. Kata-kata kurang baik sebaiknya ditelan saja demi menjaga hubungan relasi agar tetap baik. Seorang tokoh besar Inggris, Sir Winston Churchill, punya pribahasa yang tepat soal ini, ‘by swallowing evil words unsaid, no one has ever harmed his stomach.' Denyut perut yang mulas dan menggelisahkan tidak akan terjadi jika kata-kata kurang baik batal diucapkan kepada orang lain.
Bayangkan, jika anda datang ke sebuah toko ingin membeli sesuatu, lalu anda bertanya kepada pelayan tentang satu tipe produk yang anda inginkan dan si pelayan begitu saja segera menjawab, “Wah... maaf itu mahal, sangat mahal”. Begitu anda mendengar kalimat itu, kira-kira apakah anda masih mau bertahan dilayani oleh pelayan toko tersebut?
Kalimat pelayan diatas berpotensi merendahakan diri anda, seolah-olah si pelayan tidak yakin bahwa anda memiliki uang untuk membayarnya, atau paling tidak anda merasa di cap ‘miskin’ oleh si palayan.
Kata-kata positif pada dasarnya diproduksi oleh pikiran yang positif serta batin yang harmonis. Untuk itu diperlukan pelatihan dan pengamatan agar kita mampu memilih dan menyaring kata-kata untuk mendukung sukses bisnis dan pembawaan diri kita. Ingat pepatah lama, mulutmu harimaumu.
Perang Kata
Berbagai jenis iklan sering kita lihat di TV, didengar di radio, dibaca di media cetak, namun yang sangat berpengaruh biasanya iklan yang ditayangkan di TV karena audience dapat langsung menikmati suguhan visual dibandingkan jika harus menghayalkan iklan dari radio atau gambar dua dimensi media cetak. Dari sekian jenis iklan yang ada, ada yang menghibur namun juga ada yang tidak menarik sama sekali.
Terlalu banyak pemasang iklan yang serba memaksakan kehendak agar orang-orang tahu apa produk yang ditawarkan, tanpa menimbang bahwa seseorang menyetujui sesuatu jelas melalui beberapa proses dasar. Seseorang akan setuju, jika ia percaya dan membutuhkannya.
Iklan yang ditawarkan kepada publik atas pernyataan berani kotor itu baik, ditawarkan dengan visualisasi beberapa anak yang berlajar menjadi montir mobil-mobilan, bermain sepak bola di lapangan berlumpur dan lain sebagainya. Iklan yang muncul berlaku juga sebagai media edukasi kepada publik bahwa kini bukan jamannya lagi khawatir pakaian si anak kotor, karena dibalik kekotoran itu ada pelajaran yang jauh lebih penting. Sementara itu perkara kotor adalah urusan detergen yang diiklankan.
Propaganda dalam iklan terkadang membawa produsen kepada terjadinya perang iklan antar produk. Perang itu kini semakin tajam dan kadang tercium aroma saling menjatuhkan pesaingnya. Saya ingin pastikan bahwa muncul dan sukses dengan ‘cara katak’ – menyodok samping dan menginjak yang dibawah—jelas tidak akan bertahan lama. Menjelekan pesaing untuk meningkatkan kredibilitas diri berpotensi mengundang rasa yang tidak simpati.
Apakah produk itu bagus atau tidak toh kembali kepada konsumen yang menilai. Memang tidak dipungkiri kekuatan iklan juga berpengaruh kepada pikiran seorang konsumen dalam memilih produk. Jika konsumen merasa produk yang dibeli sesuai dengan janji di iklan maka kemungkinan besar dia akan loyal kepada produk tersebut. Sebaliknya jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan janji dalam iklan maka pembeli yang kecewa itu akan mempropagandakan pengalaman jeleknya lewat gerutu dalam perbincangan dengan lingkungnnya maupun melalui