blocknotinspire.blogspot.com berisi Kumpulan Business Ethics, Business Tips, Inspire Spirit, Leadership and Culture , Love and Life, Management HR, Motivasi Spirit, Smart Emotion, Success Story, Tips Keuangan, Tips Marketing dan Tips Sehat Semoga Bisa Menjadikan Anda lebih SUKSES dari hari kemarin.
Kunjungi Versi Mobile KLIK http://blocknotinspire.blogspot.com/?m=1 atau ( KLIK DISINI )

Karir

Pada sebuah workshop dalam suatu perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta terlihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara  bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae” .
Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan.  Sementara dalam bisnis, dengan berkembangkan praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan  paradigma baru seperti “jeruk bisa makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya satu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.

Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsentrasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetisi untuk meraih excellence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excellence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya ketrampilan-ketrampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving, dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ’karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan. 

 “Career Self-Management” Vs “Career track” Perusahaan
Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: ”Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100 % terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal, saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.
Kelalaian ini bukan saja terjadi ditingkat bawah. Teman saya, seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan arah karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah siapa-siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain, menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan dipensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun posisinya super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi  manajemen SDM perusahaan. 

Portfolio Management”: Tambang Emas Individu
Setiap professional, apapun keahliannya, perlu me-”maintain”, mengembangkan dan mengelola  portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian  dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu.  Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar’ saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak pernah boleh lengah dalam meng-”update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa  memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.
Employer” sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi  yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)

  (Ditayangkan di KOMPAS, 19 Juli 2008)


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More