blocknotinspire.blogspot.com berisi Kumpulan Business Ethics, Business Tips, Inspire Spirit, Leadership and Culture , Love and Life, Management HR, Motivasi Spirit, Smart Emotion, Success Story, Tips Keuangan, Tips Marketing dan Tips Sehat Semoga Bisa Menjadikan Anda lebih SUKSES dari hari kemarin.
Kunjungi Versi Mobile KLIK http://blocknotinspire.blogspot.com/?m=1 atau ( KLIK DISINI )

Komitmen

Tanda bahwa sebuah organisasi sudah mulai tidak efektif adalah kalau karyawannya sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Seorang eksekutif HRD menceritakan betapa karyawannya masih harus ditakut-takuti dengan absensi kehadiran, agar mau terlibat dalam kegiatan ataupun meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti donasi, fun activities, atau meeting bipartite. Memang, para karyawan tidak sampai saling memukul, baik dari belakang maupun depan, tidak saling menghina ataupun tidak menyatakan tidak percaya satu sama lain. Secara kasat mata, hubungan interpersonal kelihatan harmonis. Namun, bila perlu adanya koordinasi, katakanlah, crash program, pembenahan kantor ataupun program yang sifatnya non-kritikal tetapi perlu dikeroyok rame-rame, barulah terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi seolah sulit sekali diatur dan diimplementasikan ke dalam kegiatan yang terarah. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidakefektifan sebuah organisasi.

Banyak sekali ribut-ribut di perusahaan yang diakhiri dengan komentar: “Ini cuman masalah komunikasi, kok…” Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Hasil yang kita telan dari tidak efektifnya komunikasi adalah karyawan tidak ter-”konek” dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri secara sesuai. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah bisa tidak terdeteksi lagi. Yang terlihat justru pada tidak berkomitmennya setiap bagian, individu atau kelompok terhadap apa yang sudah di-”iya”-kan, dijanjikan atau direncanakan. Lebih parah lagi, bila komitmen terhadap”deadline”, waktu, kuantitas tidak bisa di-“nyatakan” lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Di sinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga  karena sakitnya komitmen.

Dari Komitmen ke Laba Perusahaan

Sudah tidak jamannya lagi orang menomorduakan komitmen karyawan di dalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitmen karyawan sudah menjadi daya saing utama dalam binis. Komitmen bisa terlihat dalam beberapa bentuk. Kita bisa lihat komitmen berkelas rendah karena individu butuh “memperpanjang” karirnya di perusahaan dan tidak punya pilihan lain dalam karirnya, yang sering disebut sebagai ‘continuance commitment’. Ada juga individu yang komit demi loyalitas, kedisiplinan dan kepatuhannya pada perusahaan, atau komitmen yang bersifat normatif. Orang yang komitmennya normatif akan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walalupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Perusahaan sebetulnya perlu memancing sebanyak-banyaknya komitmen afektif, di mana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi,  mengkompakkan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan. 

Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan sistem dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu di mana ia bisa “ikut bermain’ dan menikmati pekerjaannya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai  tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan. Kita sebagai nasabah tentunya senang berbank dengan bank yang karyawannya jelas-jelas bekerja keras, berkinerja dan berjuang demi kepuasan nasabah dan kesuksesan perusahaannya, ketimbang bank yang santai dan tidak mengejar sasaran yang jelas.

Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan  

Menurut para ahli, komitmen sangat berbeda dari  janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal, sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Bila seorang ahli bedah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan suatu kasus, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan si pasien, apakah melalui tangannya sendiri ataupun dengan bantuan ahli lain. Demikian pula, seorang kepala cabang yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak disukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru memberi “flavor” pada kerja keras kelompok.  

Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di-“expose”, siap bertanggung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam menghandel dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya?” atau ‘bukan saya, pak…’ tidak laku, karena sikap defensif  hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.

Komitmen itu Pilihan

Beda tipis dengan kepatuhan dan kewajiban yang normatif, komitmen afektif  adalah sepenuhnya pilihan individu. Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasif, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmen pun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama sama dipahami.

Komunikasi mengikuti “The 51% rule”

Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Untuk membuat peserta lain ’hadir’ dalam tantangan yang sedang dibicarakan, seorang ahli komunikasi membuat formula yaitu bila setiap orang yang sedang berkomunikasi, yang sudah pasti harus dua arah,  mengambil 51% tanggung jawab terhadap keberhasilan komunikasi dan follow up-nya, maka komunikasi pasti akan dipenuhi oleh spirit komitmen yang utuh. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengejar “the extra mile” dan menikmati pekerjaan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)

(Ditayangkan di KOMPAS, 9 Agustus 2008)


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More