Kalau kita seolah merasa “jijik” atau “bergidik” melihat gejala “bullying”, alias senior menekan junior, baik di kantor maupun di dunia sekolahan, kita perlu melakukan “surfing” di dalam benak kita seputar pengalaman sehari-hari yang kita amati. Di dunia paling intelek , misalnya di dunia kedokteran senioritas profesi sangat diamalkan. Tentunya hal ini sangat dimengerti karena si junior memang harus “angkat topi” pada para senior yang sudah banyak makan asam garam dan perlu betul-betul di “benchmark”. Di dunia pendidikan, pembedaan antara seorang profesor dan junior juga jelas dan ini termasuk semua perlakuan dan perilaku sehari-hari, baik dari jatah mengajar sampai kepada kekuatan didengar di dalam rapat, misalnya.
Pertanyaan selanjutnya: “Apakah budaya senioritas ini perlu di ikuti dengan “power corrupt”, “power abuse” atau bahkan pelecehan, baik fisik maupun psikologis? Seorang awak kabin cantik maskapai penerbangan ‘luar’ yang terkenal dengan servisnya, mengatakan bahwa seorang junior mempunyai tugas menelpon seniornya yang berjumlah tidak kurang dari 30 orang ke kamar hotel satu persatu untuk mengajak kumpul pada jam makan. Saya pernah mengenal seorang dokter junior yang memilih hotel berbeda dari para seniornya untuk menghindari “suruhan-suruhan” para senior. Dalam suatu diskusi di pelatihan kepemimpinan, dulu sekali, peserta dari lembaga keuangan paling bergengsi di negeri kita mengeluh soal “abuse” yang dilancarkan para atasan. Baru-baru ini, anak buah dari peserta itu mengeluhkan sikap “bossy” tidak keruan dari peserta yang dulu pernah mengeluh itu.
Kita jadi berpikir, apakah “senioritas” yang diwariskan dalam suatu lembaga adalah satu-satunya “power” yang diperkenalkan dalam “drilling” dan “coaching” sosial disamping fisik (menguatkan otot perut). “Kamu junior, jadi kamu selama setahun tidak boleh pakai toilet”, demikian senior sekolah ternama dalam “drilling”-nya. Anak yang berstatus junior, selain was-was takut di-”hukum”, tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, menahan kencing, juga berpikir: ”kapan aku jadi senior, ya?” Pada saat itulah semangat senioritas tumbuh secara “melenceng”.
Mengisi Power Memang Sangat Perlu!
Kita memang tidak bisa bertahan menjadi bangsa yang “letoy”. Kita memang perlu mendidik adik, anak, bawahan kita agar ber-“energi”, ber-“power”, kuat dan tegar. Di masa perploncoan jaman tahun 60-an, ada deraan-deraan baik mental dan fisik juga. Saat itu, para mahasiswa baru perlu mengumpulkan banyak sekali tandatangan, bahkan tandatangan para ketua panitia, pelaksana harian senat dan dewan mahasiswa harus didapatkan. Tuntutan untuk bertemu muka dengan para senior penting itu, bila kita tinjau lebih lanjut merupakan upaya networking paling singkat yang sangat berguna di kemudian hari. Saat sekarang di dunia bisnis kita sangat sadar bahwa kenal dengan pejabat ini, atau dengan pengusaha anu, bisa membuat kita tiba-tiba sangat ber-”power”, hanya karena ada akses.
Kita juga sangat sadar bahwa informasi sangat “powerful” di jaman digital seperti sekarang. Tidak sulit sebenarnya untuk memaksa para junior untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai dunia profesi maupun nonprofesi, sehingga ia dapat membuka wawasan dan mendapatkan ide bahwa mengumpulkan informasi itu asik. Tentunya, bawahan atau junior akan merasa lebih “powerful” lagi bila ia di-“reward” dengan semangat, dan “support” sehingga ia merasa lebih berisi.
Memberdayakan, bukan Menjadikan Tidak Berdaya
Tindakan mendera yang mengatasnamakan “drilling”, “coaching” hanya bisa efektif bila yang didera juga mempunyai motivasi untuk menjadi lebih baik. Bila yang didera merasa tidak berdaya, tidak mempunyai pilihan, tersiksa bahkan terancam, maka deraan yang sudah susah payah dilancarkan senior akan sia-sia belaka. Apa gunanya menghajar orang yang sudah berada di sudut dan tidak mampu melawan atau bahkan bergerak, tidak kuasa berkata apa-apa, bahkan tak sanggup melarikan diri?
Mainkan Power dalam Berbagai Bentuk
Kita semua memuji-muji cara bicara Bung Karno yang disebut sebagai orator ulung. Pertanyaannya, apakah kuatnya “Power of Talk” seperti itu tidak bisa dikembangkan oleh kita–kita ini? Di dalam suatu pelatihan, seorang peserta menanyakan bagaimana bisa membuat atasannya mendengar idenya. Ia mempunyai masalah bahwa atasannya, belum-belum sudah tidak mendengar. Sebetulnya pertanyaan itu bisa dijawab dengan pertanyaan lagi, “Apakah kita sudah mempelajari betul teknik bagaimana caranya supaya didengar?”. Ini cuma salah satu contoh dari kurang sadarnya kita bahwa “power” itu bisa kita simpan dan “main”-kan dalam berbagai bentuk.
Sekarang ini, organisasi semakin tidak hirarkis, orang-orang di lapangan diberi tanggung jawab dan wewenang lebih besar, sehingga keinginan untuk memegang “power” yang besar berdasar status dan pangkat sudah kuno. Tentunya seorang manajer yang ingin sukses selalu ingin membuat “impact”, berpengaruh dan kuat. Tetapi, mencari “power” tidak lagi identik dengan mendapatkan kemenangan atau berada “di atas”. Begitu juga mencari “power” juga bukan menebarnya (menebar kekuasaan di mana-mana). “Power” yang keren di masa sekarang lebih mengarah pada kemampuan komunikasi, persuasi, pengetahuan, pemecahan masalah dan kesuksesan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)