Semua orang pasti setuju pentingnya masukan untuk perbaikan. Namun, seberapa baik dan terbukanya kita mendengar masukan, ketika masukan itu datang di depan mata kita? Seorang pebisnis teman saya tahu persis bahwa saat sekarang, kecanggihan pengaturan ‘cashflow’ merupakan kunci pertahanan dan kesuksesan binisnya saat ini. Ia pun menyetujui direkrutnya seorang eksekutif yang bisa melakukan pengaturan keuangan secara lebih canggih. Saat eksekutif tadi mengemukakan perbaikan dan langkah perubahan yang ia canangkan, pebisnis tersebut langsung berkilah. Dengan daya persuasi yang kuat, ia justru mengarahkan eksekutifnya untuk mengerjakan cara lama saja.
Dalam situasi lain, saya menyaksikan seorang atasan mendengarkan presentasi bawahan yang menyajikan ‘brutal facts’ yang perlu diwaspadai. Lucunya, atasan tersebut tidak me-’welcome’ fakta yang disajikan, mengabaikan untuk menggali fakta dengan sikap skeptis yang sehat, tetapi malah berusaha mempersuasi audiens untuk berpikir bahwa ada kemungkinan data salah, cara pengambilan datanya tidak tepat, dan banyaknya pertimbangan yang tidak dimasukkan. Akhirnya, ‘brutal facts’ yang ditemui dimentahkan lagi, situasi pun tidak berubah, perbaikan bahkan tertolak karena tidak masuk ke benak pemikiran orang-orang yang hadir.
Kita sering mendengar komentar dari orang-orang yang sedang mengalami ke”ribet’an: ”Anda tidak ngerti duduk persoalannya, sih” Padahal, saat kita berada dalam ketidakpastian dan kompleksitas seperti inilah, masukan pihak lain menjadi sangat penting. Rasanya kita perlu mengadaptasi sikap periset yang selalu mengedepankan sikap kreatif dan kritis dalam memperoleh dan mengolah data. “Stakes are high, Feedback is a must”, kata orang.
Masukan: Obyektif atau Subyektif?
Berburu masukan itu ibarat berkeliling menanyakan pendapat tetangga tentang masakan yang baru pertama kali kita buat. Perasaan yang timbul memang bermacam macam, mulai dari bertanya-tanya, bangga, tersinggung, atau was-was. Apakah pendapat orang lain obyektif? Bukankah kita yang lebih tahu mengenai apa yang kita tekuni? Apakah mereka cukup ahli dan tidak asal cuap? Sepanjang kita bisa meyakini bahwa masukan itu berguna, kita akan tetap bisa memanfaatkannya. Kita hanya perlu betul-betul mendengar dulu. Kita sering lupa bahwa masukan itu tidak mengenal pangkat, status atau usia. Masukan dari para sesepuh, senior ataupun pegawai rendahan bisa sama berharganya, tergantung seberapa pasnya masukan itu dengan kebutuhan kita.
Kita juga tidak bisa serta merta meragukan obyektivitas masukan orang. Hampir semua situasi atau produk yang kompleks dinilai secara subyektif dan tidak mempunyai ukuran yang pas. Sebut saja produk “I-MAC Super-thin “ atau film “Laskar Pelangi”. Kita tidak akan bisa melihat dan menentukan apakah masukan orang bersifat subyektif atau obyektif, berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Lalu, kalau begitu, apakah kita akan berhenti mengejar masukan?
Transparansi Berharga Mahal
Dalam sebuah tulisan mengenai tren 2009, dikatakan bahwa ini adalah era ‘instant feedback”. Melalui GPS (Global Positioning System), keberadaan dan pembicaraan siapa pun bisa dilacak secara ‘real time’. Orang butuh memotret kemacetan lalu lintas saat ini juga, ‘polling’ pendapat mengenai popularitas diri sebagai politisi harus akurat dan terkini, bahkan instan. Ini adalah era transparansi. “Corporate governance”pun sebetulnya sudah tidak perlu disosialisasikan karena tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila ada pihak yang menutup-nutupi kecurangan, pasti ada pihak lain yang akan membongkar faktanya. Tengok saja betapa KPK demikian cerdik mendapatkan fakta, demikian pula pers.
Saat sekarang kita memang mesti berlomba adu cepat untuk mendapatkan fakta, baik mengenai situasi pasar, kompetitor, kinerja perusahaan, kebijakan yang baru dibuat, terutama mengenai diri sendiri. Inilah saatnya kita menciptakan lingkungan dimana setiap orang dimanfaatkan pendapatnya tanpa rasa takut bicara. Kebutuhan terhadap masukan bukan berarti mengombang-ambingkan profesionalisme dan kekokohan prinsip kita, namun kita perlu meyakini bahwa pikiran kita mempunyai keterbatasan dan kita butuh pendapat lain, terutama untuk hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan yang kompleks.
Bola Tetap di Tangan Kita
Kita bisa jadi tidak sadar bahwa kita sering mentah-mentah menolak masukan. Padahal, bagi lembaga yang berbisnis servis serta orang-orang yang terbiasa bergerak maju, mereka bahkan rela membayar mekanisme “feedback” dengan harga mahal. Individu yang memberi masukan diberi hadiah, bahkan membeli hasil riset dan survey kepuasan pelanggan berharga miliaran rupiah pun dilakukan. Mengapa kesadaran mengenai perlunya berburu masukan ini tidak merata? Bahkan, pengelola pemerintah pun seolah enggan mendengar fakta di lapangan, mengabaikan saran-saran ahli yang mumpuni, bahkan menolak ‘brainstorming’, yang sesungguhnya bisa menambah wawasan dan khasanah pengetahuan sebelum mengambil keputusan.
Seringkali, tertutupnya pikiran dan hati untuk memburu masukan, disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan antara perasaan serta penjiwaan kita dengan permasalahannya secara obyektif. Bila kita terlalu lebur dengan masalahnya, kita bisa merasa ‘diserang’ bila pendapat atau tindakan kita dipertanyakan. Sebaliknya, kita pun sering lupa bahwa kita tidak perlu segera mengubah apa yang sudah ada pada kita atau kebijakan maupun tindakan yang sudah kita buat, kalau kita mendapatkan masukan yang bertentangan ataupun “nyeleneh”. Bolanya tetap di tangan kita.
Kita perlu secara intensif melakukan evaluasi tindakan kita, dan hanya masukan pihak lainlah yang bisa kita manfaatkan. Bayangkan, betapa ‘basi’-nya sikap keras kepala dan tidak mau menerima ‘feedback’. Hanya orang yang aktif berburu masukanlah yang bisa maju dan mampu menembus unpredictables, ketidakjelasan yang memang ditakuti semua orang. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 24 Januari 2009)