Saat saya bicara di dalam pelatihan-pelatihan bahwa feedback adalah hal yang unavoidable atau tak terhindarkan untuk perbaikan dan pengembangan diri, hampir selalu saja ada ‘curhat’ dari peserta mengenai banyaknya mereka menemui individu senior yang tidak welcome, sulit atau bahkan meradang saat menerima umpan balik. Saya menduga, bahwa salah satu alasan seseorang sulit menerima umpan balik mengenai kinerja, kesalahan dan pengembangan dirinya, terutama di negara kita ini, adalah lebih dilatarbelakangi gengsi yang besar. Kritik dipandang sebagai sesuatu yang menjatuhkan ‘muka’ dan menurunkan gengsi. Apalagi bila seorang senior berada pada situasi harus bekerja di bawah pimpinan yang lebih muda, pintar namun kurang pengalaman, bisa-bisa makin besar pula kadar gengsinya. Komentar seperti ‘anak kemarin sore’-lah, ‘belum pengalaman’-lah dan banyak alasan lain, seakan tidak memperbolehkan diri kita untuk melihat ke dalam dan berpikir mengenai kapasitas, kompetensi, kontribusi dan komitmen yang selama ini kita tampilkan, sehingga kita tidak dipilih untuk menjadi pimpinan tim dan dilangkahi oleh yang lebih muda-muda.
Banyak ahli mengatakan bahwa gengsi adalah dominasi masyarakat Asia. Pada masyarakat Jawa bisa dikonotasikan dengan ‘projo’, oleh masyarakat Cina dekat dengan pengertian “mianzi” (nama baik) dan “lian” (karakter moral). Dalam bahasa Inggris sendiri, memang tidak ada kata yang terlalu tepat untuk fenomena ‘menjaga muka’ ini, kecuali gabungan antara ‘reputasi’ dan ‘esteem’. Namun, kapan pun dan di negara manapun, setiap orang memang punya kebutuhan untuk menjaga ‘image’ dirinya di depan publik.
Agendakan Bermawas Diri
Andrew Oswald, seorang ahli ekonomi dari University of Warwick, mengatakan bahwa manusia mempunyai nasib untuk selamanya membandingkan dirinya dengan orang lain. Bila kegiatan membandingkan diri ini dilandasi oleh “kerakusan” dan hal-hal yang ada dipermukaan saja, maka individu bisa melakukan tindakan yang salah, berdasarkan analisa pribadinya itu. Tentunya kita ingat cerita klasik, seorang istri membandingkan diri dengan tetangga yang baru membeli motor dan saat suaminya pulang, ia merengek untuk juga dibelikan motor baru, tanpa berpikir mengenai pendapatan, kesempatan dan kemampuan keluarga untuk meningkatkan konsumsi.
Bila kita tidak punya agenda untuk senantiasa ‘mengisi diri’ dan mencerdaskan diri sendiri, sangat mungkin terjadi situasi membandingkan diri tanpa berupaya menganalisa lebih mendalam, kita ulangi lagi dan lagi. Pada akhirnya, analisa-analisa ini bisa bertumpuk dan berakibat pada kedangkalan berpikir, sehingga kita hanya bisa menumbuhkan “esteem” atau harga diri atau merasa ‘bergengsi’ melalui hal-hal dangkal dan di permukaan saja, seperti materi, jabatan, fasilitas, serta apa yang dikenakan orang.
Teman saya, adalah isteri seorang ahli perminyakan. Saya mendengar sendiri ia mengomel pada sebuah jamuan makan di rumahnya:”Pah, masa orang lain sudah ganti mobil Maserati, kita masih Kijang Kijang juga…”. Ketika diusut, siapa pengendara Maserati itu, ternyata mereka adalah pemilik perusahaan minyak tempat suaminya bekerja, yang kebetulan bersahabat dengannya. Analisa mengenai pendapatan, pekerjaan, dan kemampuan yang sangat sederhana ini bisa sulit dilakukan bila kita memang tidak berlatih untuk menjadi lebih ‘dalam’ dan mawas diri. Oleh Oswald, gejala ini disebut sebagai “happiness economics”, di mana kebahagiaan sangat relatif dan bergantung pada kegiatan membandingkan diri dengan orang lain, dari waktu ke waktu, lalu mengakibatkan individu tidak pernah stop untuk meningkatkan kebutuhannya. Bisa saja kita jadi terjebak menghalalkan berbagai cara untuk mengejar kedudukan, kekayaan, namun sekaligus membuat makna kemanusiaan kita hampa.
Mengangkat Gengsi: ‘Being’ versus ‘Having’
Bila kita mau sedikit mawas diri, tentunya kita sadar bahwa menjaga gengsi, tidak semata berasal sebatas kedudukan, kekayaan dan kepemilikan barang. Ingat saja, bahwa si multibilyuner dolar, Mark Zuckerberg, pemilik Facebook tidak mendapatkan gengsinya melalui pesta-pesta bermilyar dolar, gonta-ganti mobil, mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara. Ia sekedar anak kos-kosan yang rajin mengulik, berkreasi dan berinovasi, sampai bisa membuahkan produk yang berharga dan populer seantero dunia. Kita lihat, “self image” di mata publik bisa dilandasi oleh beberapa domain penting dalam kehidupan ini, seperti prestasi, pengalaman, kepahlawanan, tata krama, tata bahasa, kinerja, ekspertis, kearifan yang lebih mengarah pada “being” seseorang dibandingkan dengan “having” seseorang. Ini tentunya kabar baik bagi setiap individu yang juga ingin meningkatkan ‘gengsi’- nya tetapi belum tahu darimana sumbernya.
Kita bisa garisbawahi bahwa kita memang perlu senantiasa menjaga kebugaran fisik, intelektual, emosional dan spiritual kita, sebagai modal untuk menganalisa, memperbaiki, mengembangkan diri sendiri, berkreasi, berprestasi, menonjol, sehingga kemudian bisa merespek diri sendiri, lalu menjaga hakikat “qualities” diri kita sebagai fitur gengsi. Sudah tidak jamannya lagi kita merasa gengsi naik sepeda, ketimbang berkendaraan mobil, dan seharusnya malah lebih bangga bahwa kita bugar menjaga kesehatan. Atau sebaliknya ‘perlu’ memiliki Blackberry seri terbaru, tetapi gaptek dalam menggunakannya ? Menunjang program ‘busway’ adalah salah satu bukti bahwa kita bisa mengangkat harga diri melalui prinsip efisiensi dan efektivitas, di mana kita bisa lebih cepat sampai tujuan tanpa harus bermacet-macet duduk bengong di dalam mobil mewah kita, dengan membayar joki pula. Jadi, manakah yang lebih ber’gengsi’? (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di Kompas, 8 November 2008)