Di penghujung Ramadhan dan awal bulan Syawal, kita memang jadi lebih dekat dengan kegiatan memberi. Kegiatan seperti “sahur on the road”, pembagian zakat, hanyalah sebagian kecil dari kegiatan ’memberi’ yang bisa kita simak. Banyak orang yang memang menggunakan Ramadhan sebagai momentum untuk berbagi. Lihatlah bagaimana orang-orang berburu “uang pecahan”, mencari posisi strategis untuk membagikan zakat, sehingga dalam masa ini tiba-tiba orang miskin menjadi titik perhatian. Bahkan, orang yang tidak terlalu miskin pun, rela-relanya menggunakan seragam tukang sapu jalanan sekedar untuk mendapatkan ‘pembagian’.
Pernah pada suatu hari saya menasihati putra-putra saya untuk tak lupa memberi pada saudaranya yang kesusahan, bila kelak mereka sudah berdiri sendiri. Namun salah satu di antara mereka bertanya:”Kalau yang diberi, malah kemudian tidak mau usaha lagi dan keenakan minta-minta terus bagaimana?” Ini memang pertanyaan yang sulit dijawab. Terkadang niat baik untuk memberi memang perlu juga dibarengi ’strategi’ agar pemberian kita bisa berdampak lebih panjang daripada sesaat saja. Mungkin, ini juga sebabnya banyak orang tidak setuju untuk memberi sekedar uang penyambung hidup. Ada yang berkata: “lebih baik memberi pancingnya daripada ikannya.” Teman saya, yang mengalami kegiatan “sahur on the road” bahkan mengatakan tidak akan melakukan aktivitas itu lagi, karena ternyata sasaran pemberian tidak terlalu tepat. Meskipun kelihatannya simpel, mudah dan dilakukan secara tulus ikhlas, memberi bisa memiliki berbagai dimensi kemanusiaaan yang perlu kita pikirkan dalam dalam.
Jangan Memberi sekaligus Menerima
Berkali-kali kita saksikan banyak orang memberi karena ingin menghitung “return”-nya, apakah berbentuk pahala, potongan pajak, harga diri, reputasi, “nama baik”, bahkan kepentingan golongan tertentu, sehingga memberi sedekah perlu diabadikan, didokumentasikan bahkan di-‘pasar’kan. Padahal, jelas-jelas hadist Nabi mengingatkan: “Berinfaklah atau memberilah dan janganlah kamu menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya untukmu.”
Kita lihat dalam memberi, ketulusan dan kerelaan saja tidak cukup, melainkan kita pun benar-benar perlu menyiapkan mental untuk melepaskan property dan “diri” kita dengan memikirkan kepentingan orang lain secara 100 % dan utuh. Teman saya yang sering memberi pamannya segepok uang tanpa pikir panjang pernah saya tanyai, mengapa ia memberi pamannya uang sebanyak itu. Teman saya menjawab santai: ”Selain dia memang sangat memerlukannya, saya selalu ingat, waktu saya masih kecil, ia pun melakukan hal yang sama dengan saya. Tanpa kebaikannya dulu, mungkin saya tidak pernah akan membeli mainan….” Kerelaan pemberi memang akan terlihat dari bagaimana ia menganalisa penerima dan melepaskan dari egoism pribadinya. “Remove self. What remains is contribution.“, demikian Tad Waddington, dalam best sellernya : “Lasting contribution. “
Menakar Mutu Pemberian = Menakar Mutu Kehidupan
Setiap individu, pada suatu hari yang baik, pastinya pernah bertanya pada diri sendiri: ”Apa yang sudah saya beri untuk orang lain dan negara, serta apa niat dari pemberian kita?” Pada saat-saat itulah kita bercermin dan melakukan audit etikal tentang dosa dan kebaikan, kecurangan dan kemenangan, serta hal-hal yang fair dan tidak fair yang pernah kita lakukan. Di situ juga kita bisa mengevaluasi, apakah pemberian kita itu demi diri pribadi, demi menyenangkan orang lain, demi menyambung hidup orang lain, demi kelangsungan hidup perusahaan atau demi nilai-nilai yang lebih luhur seperti pendidikan, mutu lingkungan hidup dan kemanusiaan? Syukur-syukur bila kita mendapatkan nilai plus sehingga kita bisa menakar kontribusi yang sudah kita berikan pada keluarga, perusahaan, kompleks perumahan kita, bahkan Negara. ” Life is difficult ,and doing something important with your life is even more difficult.” Satu hal yang jelas, kita pastinya akan merasa jauh lebih “happy” dan bermakna bila kita bisa melihat apa yang sudah kita kontribusikan ke kehidupan orang lain, tempat kita hidup, dan tidak menyibukkan diri pada harta, reputasi, nama baik dan keberadaan diri sendiri saja.
Banyak sekali orang mengkonotasikan pemberian secara material, padahal dengan niat yang tulus dan demi nilai-nilai yang luhur, pemberian dapat kita lakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti enerji, waktu bahkan pengetahuan. Untuk orang-orang “biasa” seperti kita-kita yang tidak punya uang atau harta “lebih” untuk dikontribusikan banyak–banyak, kita memang perlu bertindak sekaligus berpikir untuk menghasilkan kontribusi yang berdampak dan ber-”arti”, serta memiliki manfaat jangka panjang bagi orang lain. Dengan memberi bimbingan pada tetangga tentang pengetahuan akan makanan yang sehat, atau melakukan “toilet training” ke putranya dengan tepat, kita sebetulnya sudah “melakukan sesuatu”. Abang saya dikenal sebagai “handyman” di lingkungan tempat tinggalnya, dan menjadi dokter pompa air, ‘tukang’ membetulkan kunci macet dari para tetangga. Suatu hari salah seorang tetangganya nyeletuk :”tidak bisa dibayangkan bila beliau tidak ada lagi di sekitar kita “. Di sanalah harga konstribusi personal kita terangkat menjadi nilai yang berharga. Jadi, banyak hal yang bisa kita lakukan dalam ‘memberi’, tanpa terlalu perlu mengganggu ekuilibirum material atau kocek pribadi, dan tetapi membawa manfaat besar bagi orang lain. Bahkan Andreas Hirata dalam filmnya “Laskar Pelangi” sampai dua kali berpesan:”Berusahalah memberi sebanyak -banyaknya dan jangan menerima sebanyak banyaknya…”. Nah, sudahkah kita menjadi seorang pemberi sejati hari ini?
(Ditayangkan di KOMPAS, 4 Oktober 2008)