Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.
Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik”, pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan “bargaining power”-nya.
Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik”, pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan “bargaining power”-nya.
Mengapa situasi ‘berpolitik’ seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga “job description” yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.
Tahu Apa yang Kita Mau
Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan “lobby”, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah “operating system” jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa “kasak-kusuk” , bujuk membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis – idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal karir saya akan terhambat”.
Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu “kuat” dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, “power” atau “kontrol” terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sistem yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa me-”licin”-kan upaya kita melalui pendekatan”, demikian ungkap teman saya. Sepanjang kita bersikap “fair”, tidak manipulatif dan curang, me-“lobby”, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negatif seperti yang kita kenal misalnya “sistem kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.
Bertindak Halal tanpa Menghalalkan Segala Cara
Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideologi biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.Dari pengamatan para ahli, orang orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi , mereka juga ”politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya agar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil “ di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player ”.
Berproduksi itu Mutlak. Berpolitik itu Cara Bergaul
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-“lobby” dan berpolitik, sementara produksinya ‘kosong’, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa “diperhitungkan” dalam peta sosial organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 28 Juni 2008)