Ekstasi merupakan salah satu dari obat terlarang yang banyak digunakan di Indonesia, selain kokain, ganja dan heroin. Tapi penelitian baru menemukan bahwa ekstasi bisa berguna untuk dijadikan terapi autisme.
Ekstasi atau dikenal juga sebagai MDMA (Methylene Dioxy Meth Amphetamine) telah dikenal dapat meningkatkan perasaan bahagia, euforia, rasa keintiman dengan orang lain, serta meredakan depresi dan kegelisahan, meski obat ini juga sangat berbahaya bila disalahgunakan.
"Efek empathogenic ini menunjukkan bahwa MDMA bisa berguna untuk meningkatkan psikoterapi bagi pasien yang mengalami masalah komunikasi, seperti autisme, skizofrenia atau gangguan kepribadian antisosial lain," jelas Gillinder Bedi, asisten profesor psikologi klinis di Columbia University dan peneliti di New York State Psychiatric Institute, New York City, seperti dilansir Medindia.
Menurut Bedi, ekstasi dapat mempengaruhi neuron di otak yang menggunakan serotonin neurotransmitter untuk berkomunikasi dengan neuron lainnya.
Serotonin kimia otak yang disebut hormon oksitosin memainkan peranan penting dalam mengatur suasana hati, agresi, tidur dan kepekaan terhadap rasa sakit, juga terkait dengan ikatan sosial dan salah satu hormon yang dapat mengurangi efek dari kortisol (hormon pemicu stres).
"Dalam konteks pengobatan, efek ini bisa meningkatkan keakraban pada orang-orang yang mengalami kesulitan merasa dekat dengan orang lain," kata John Krystal, editor Biological Psychiatry.
Sayangnya, ekstasi sering digunakan kalangan 'club drug' saat menikmati hiburan malam hari. Obat ini sering disalahgunakan dengan cara dikombinasikan dengan alkohol, sehingga memiliki efek yang dapat berpotensi mengancam nyawa.
"Meski demikian diperlukan lebih banyak penelitian mengenai pengontrolan ekstasi untuk menentukan apakah obat ini bisa dengan aman dan efektif menjadi obat psikoterapi untuk beberapa kondisi," ungkap Bedi.
Temuan sebelumnya yang telah dipublikasikan dalam Journal of Psychopharmacology juga menunjukkan bahwa ekstasi dapat berguna bagi orang dengan gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD), misalnya trauma pelecehan seksual.
Dr. Michael Mithoefer yang melakukan studi ekstasi dan PTSD sebelumnya menuturkan sangat penting untuk menyelidiki terapi baru yang potensial. Dan hal ini tidak boleh dicegah hanya karena ada sesuatu yang disalahgunakan.
"Banyak hal yang bisa mengancam jiwa atau berbahaya jika digunakan secara tidak benar. Tapi jika digunakan dengan bijaksana dan benar, maka ada banyak hal yang juga bisa membantu," ungkap Dr Mithoefer.
Sumber : detik.com