Training Magazine dari Amerika edisi Desember 2005 membuat laporan soal trend training yang menarik. Headline-nya juga sangat eye catching, judulnya? “Aint Dead Yet,… The Classroom Training is Still KING!”.
Inti edisi Desember tersebut yang didalamnya mencakup survei industri tahun 2005 sebenarnya tidak banyak memaparkan hal baru. Namun, ada beberapa fakta menarik yang bisa diambil insight-nya. Pertama, meski e-learning atau online classroom berkembang cukup pesat dalam dekade terakhir ini, namun pembelajaran di kelas, masih tetap diminati oleh kebanyakan industri yang disurvei. Kedua, manfaat serta keuntungan dengan hadirnya pakar informasi secara fisik di kelas, yang bertatapan langsung dengan peserta, tetap dianggap memberi hasil pembelajaran PALING OPTIMAL!
Membaca laporan Industri tersebut sebenarnya bisa diintepretasikan dua hal, berita baik atau berita buruk, bagi Anda yang berkecimpung dengan classroom training. Berita baiknya? Teknologi masih belum bisa mengeser keunggulan kehadiran para trainer yang bisa berinteraksi dengan peserta di kelas. Kerugiannya? Tuntutan bagi para trainer akan semakin tinggi oleh karena trainer mulai semakin bersaing dengan kecanggihan teknologi dan proses pembelajaran on-line yang so pasti, semakin hari akan semakin dikembangkan lebih menarik lagi.
Lantas, langkah apa yang bisa dilakukan para trainer agar mereka tetap memiliki keunggulan kompetitif dibanding para trainer maya yang hanya hadir di depan screen komputer pesertanya?
Tulisan kali ini akan mencoba membedakan dua jenis trainer di kelas, yang dibedakan dari kebiasaan dan sikapnya. Jenis pertama, adalah yang trainer yang membuat pembelajaran di kelas menjadi tidak efektif dan membosankan. Orang akan bilang, “Mending belajar interaktif di komputer daripada mendengarkan trainer jenis ini.” Jenis kedua, yakni trainer yang efektif, aktif, bermanfaat serta tak tergantikan oleh teknologi secanggih apapun (ya, setidak-tidaknya oleh teknologi online learning yang ada saat ini)
Mari kita mulai dari ketegori trainer jenis pertama, jenis pertama ini saya sebut dengan nightmare trainer. Mengapa disebut nightmare? Alasannya pernah diceritakan oleh seorang Chief of Learning Officer (CLO) suatu perusahaan minyak. Ia mengatakan pernah mengundang seorang trainer dengan CV pengalaman kerja di industri yang begitu menjanjikan. Namun, saat mengajar, si trainer begitu membosankan sehingga sebagian besar peserta main hp, keluar masuk ataupun tertidur di kelas. Si CLO ini merasa begitu menyesal mengundangnya dan terpaksa mengadakan training ulang dengan memanggil trainer yang lain. Dari pengalaman CLO tersebut, intinya nightmare trainer membuat peserta ‘sengsara, merasa rugi menghabiskan waktu dan uangnya untuk mendengarkan dirinya, serta tidak mendapatkan manfaat apapun darinya’.
Model nightmare trainer ini sebenarnya dapat kita bagi lagi menjadi dua macam: Aggressive Nightmare Trainer serta Passive Nightmare Trainer. Pada Aggressive Nightmare Trainer, ciri-ciri utamanya adalah: kelewat percaya diri (superiority complex), banyak promosi diri ketimbang beri bukti, meremehkan dan sikap arogan saat konflik pendapat dengan pesertanya, serta merasa dirinya paling tahu serta menjelekkan trainer lain. Contoh trainer ini pernah dikatakan seorang ibu yang mengikuti suatu training sistim camp tingkat dasar. Setelah pelatihan 2 hari itu, ia merasa bahwa trainernya hanya berupaya mempromosikan training camp tingkat berikutnya. Buktinya, banyak pertanyaan peserta yang dijawab, “Akan terjawab di pertemuan training camp berikutnya ”. Bukannya memberi training, trainer model ini lebih cocok kita sebut SALESMAN!
Sementara itu, passive nightmare trainer memiliki ciri yang berbeda, namun sama-sama merugikan. Ciri-cirinya antara lain: kurang pe-de, kurang meyakinkan dengan informasi yang diberikan, banyak mengatakan, “kayaknya, mungkin, kira-kira, kalau tidak salah” yang berkesan ragu-ragu dengan informasi yang disampaikan. Ciri lainnya adalah trainer ini hanya menyampaikan informasi umum (nggak ada greget informasinya) sehingga peserta merasa apa yang disampaikan sudah usang.
Lantas, bagaimanakah trainer classroom yang efektif itu? Secara mudahnya, kita sebut saja sebagai S-M-A-R-T trainer. Masing-masing SMART trainer itu sebenarnya singkatan dari:
S (Self Improvement) yakni selalu belajar dan terus mengembangkan dirinya. M (Multi sensori), inilah trainer yang memanfaatkan segala potensi dirinya untuk berkomunikasi mulai dari visual, gerakan, acting, emosi maupun bahasa tubuhnya, mampu dioptimalkan untuk menciptakan daya pesan yang dahsyat dan tak terlupakan. A, act passionately. Artinya, bertindak dengan penuh gairah dan semangat dengan topik yang diajarkannya. Anda bisa bayangkan, betapa membosankannya belajar dari seseorang yang tidak punya semangat dengan apa yang diajarkan? R, responsive to audience’s needs. Intinya, si trainer mengerti harapan dan keinginan peserta. Tahu bagaimana menghidupkan peserta khususnya jika peserta sudah jenuh.
Lalu, terakhir, T yakni totality atau totalitas. Kalau Anda mengenal trainer yang bagus, mereka semuanya selalu penuh totalitas, kalau mengajar. Boleh dikata, semboyan mereka adalah, “Anda puas, saya lemas”. Salah satu contoh trainer penuh totalitas yang menjadi inspirator saya dalam mengajar adalah John Foppe, yang meski kedua tangannya buntung namun tetap mengajar dengan semangat penuh. Di edisi berikutnya, kita akan bahas lebih jauh SMART trainer ini. Sampai disini. Happy Training!
Sumber : hrexcellency.com