By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Setiap hari, di surat pembaca, internet, milis, facebook, bisa kita temukan pelanggan komplen terhadap produk atau jasa yang mereka bayar. Mulai dari yang sekedar kecewa, sampai yang betul-betul murka. Dari yang berbahasa halus, sampai yang memaki-maki. Pelanggan dan penyedia jasa, kita tahu tidak selamanya berangkulan mesra dan berdampingan akrab seperti selalu digambarkan di iklan. Kenyataannya, tak jarang kita kita lihat, pelanggan dan penyedia jasa berdiri berseberangan, saling memandang sebagai ancaman, bahkan saling melawan.
Pelanggan Biasanya “Sudah” Dirugikan
Pelanggan Biasanya “Sudah” Dirugikan
Kiriman salah alamat, pesanan datang terlambat, produk tidak berfungsi, manfaat tidak dirasakan, hanyalah beberapa contoh kerugian yang kerap dialami pelanggan. Kita tahu bahwa salah diagnosa dan malpraktek bukan saja dilakukan oleh dokter atau rumah sakit, tetapi juga bisa terjadi di bengkel atau usaha jasa lainnya. Banyak penyedia jasa yang punya reputasi baik dalam memberikan servis, masih tetap dinilai pelanggan sebagai lembaga yang ‘buruk’ dalam menghadapi keluhan. Sebutlah, nasabah yang berjanji untuk membayar sebuah transaksi pada rekan bisnisnya di malam hari. “Malam ini juga saya transfer pembayarannya”, dengan harapan akan melakukan pembayaran melalui M-banking, dengan menggunakan ponsel. Apa lacur, jasa tersebut off-line. Transaksi batal, pelanggan rugi.
Oleh penyedia jasa, hal ini dipersepsi sebagai kesalahan prosedur. Padahal, pelanggan biasanya tidak mau tahu dengan prosesnya, tetapi lebih peduli pada ‘hasil’-nya. Inilah yang sering menyebabkan pelanggan mencak-mencak bila tidak mendapatkan solusi dari keluhannya. Situasi ini juga yang membuat pelanggan kerap dipandang sebagai ancaman oleh para penyedia jasa.
Kita sama-sama mengerti bahwa penyedia jasa tidak mungkin mengganti kerugian yang diderita pelanggan akibat keterlambatan atau kemacetan servis. Sementara, kerugian pelanggan sering sulit dinilai dengan nominal angka rupiah, mulai dari hilang kesempatan, hilang kepercayaan, rugi suku bunga atau penyakit yang bertambah parah. Bila tidak berhasil melampiaskan kemarahan secara tatap muka, internet-lah yang lalu menjadi saluran kemarahan. Bagi penyedia layanan, komplen yang dipublikasikan bagaikan menerima vonis di pengadilan. Nama baik tercoreng. Bila sudah terjadi kerugian, memang sulit rasanya terjadi saling empati antara pelanggan dan penyedia jasa. Pertanyaannya, masakan tidak ada jalan keluar dalam menghadapi situasi seperti ini?
Siapkan Enerji Dobel
Sebuah restoran yang sedang rajin mencari pelanggan, membuat forum di berbagai blog di internet. Lewat media ini, komplen pelanggan terpublikasikan. Nama mereka kadang tercoreng habis-habisan. Hebatnya, semua keluhan seperti ‘two thumbs down’ atau pernyataan kapoknya pelanggan ditanggapi dengan enerji luar biasa. Si penulis komplain diundang, dikirimi voucher, diwawancara dan dirangkul. Meskipun tidak semua pelanggan ‘patah hati’ kembali, namun beberapa di antara mereka bahkan menjadi teman. Dan, yang terpenting, masukan dianggap sebagai data terpenting untuk perbaikan sistem, produk dan sikap manusia pelayannya.
Kita lihat bahwa manajemen komplen yang hati-hati sebenarnya bisa menghindari ‘unwanted cost’ yang tidak disangka-sangka. Salah langkah dalam penanganan komplain, malahan bisa menjatuhkan reputasi, merogoh kocek yang tidak sedikit untuk pemasangan iklan pemulihan nama baik, bahkan bisa sampai menguras waktu dan biaya pengacara di pengadilan.
“Magic Words” dalam Penanganan Keluhan
Baru-baru ini saya menyaksikan, seorang tamu restoran menunjukkan batu kerikil dengan diameter sekitar 0,5 cm, di dalam nasi gorengnya kepada pelayan. Tamu itu hanya mengatakan: ”Masih untung tidak tertelan!”. Pelayan yang panik, memanggil GM restoran. Sayup-sayup terdengar, baik GM maupun pelayan secara bersahut-sahutan berusaha menerangkan bagaimana hal tersebut terjadi di dapurnya. Sambil menyaksikan, saya merasa berdebar-debar, khawatir akan terjadinya konflik yang lebih meruncing. Bisa saja si tamu saking kesalnya meninggalkan restoran. Untungnya, 1 porsi nasi goreng baru sudah disediakan dan suasana kembali normal.
Seorang ahli servis menyebutkan manajemen penanganan komplen sebagai “Service Memory Management“. "It is not how satisfied you keep your customers, it's how many satisfied customers you keep." Tidak pelak lagi, pelanggan yang marah karena kerugiannya berhak mendengar kata-kata:”Maaf Pak/Bu, kami memang salah”, sebelum penyedia jasa melakukan penanganan dan memberi solusi lebih lanjut. Penjelasan ngalor-ngidul mengenai penyebab kejadian tidak akan berguna, kecuali bila pelanggan memang betul-betul berminat mendengarkannya.
Pelanggan yang komplen, bila menerima sikap mengaku salah akan merasa seolah disiram air es. Marahnya pun pasti mereda. Tentunya permintaan maaf yang tulus dan dalam, perlu secara kreatif dikompensasikan segera. Imbalan atau kompensasi mungkin tidak mempunyai nilai yang sama, tetapi perlu memberi ‘wow’ kepada pelanggan kecewa. Bila imbalan yang diberikan tidak signifikan, pelanggan tetap akan merasa dilecehkan dan mungkin akan menyerang kembali. Kita tidak boleh lupa bahwa setiap orang marah punya radar perasaan dan daya ingat yang lebih tajam. Ia pun akan cepat tanggap dan ingat apakah permintaan maaf ditindaklanjuti dengan komitmen dan solusi.
Buktikan Komitmen dalam “Manajemen Keluhan”
Dalam wawancara televisi saya menyaksikan betapa tumpulnya seorang pejabat penyedia jasa menerangkan mengenai manajemen penanganan keluhan di lembaga yang dipimpinnya. Yang diterangkan justru hanya proses, prosedur dan posisi ‘counter’ penanganan keluhan, tanpa menyadari bahwa sebenarnya yang diharapkan publik justru niat untuk mencari solusi dan seberapa puas pelanggan setelah mengeluh. Kesalahan pasti dilakukan oleh oknum tertentu dan bukan atas arahan perusahaan. Sikap defensif bahkan cuci tangan perusahaan dan mengajak pelanggan atau publik berkonsentrasi pada oknumnya, sekedar membuat pelanggan semakin tidak sabar, tidak tahu dan samar mengenai solusi yang ia dapatkan. Padahal pada saat inilah justru lembaga atau perusahaan perlu memamerkan reputasinya sebagai perusahaan yang penuh komitmen dan paham arti ‘servis’ yang sebenarnya.
(Ditayangkan di Kompas, 13 Juni 2009)