Sebuah perusahaan telekomunikasi mengundang Experd untuk melaksanakan brief kepada para “frontliner” yang perlu dibekali ketrampilan menghadapi pelanggan, saat pelanggan menuntut pemahaman mengenai “green policy” yang baru diterapkan perusahaan. Misalnya saja, fakta bahwa semua onderdil produk mereka bisa di daur ulang dan pengenalan kepada pelanggan mengenai berbagai program ‘Green’-nya. Perusahaan ini tentunya termasuk pioneer dalam “green policy”, karena di Indonesia , pemerintah memang belum mengeluarkan peraturan konkrit apapun yang berkenaan dengan pelestarian lingkungan.
Upaya konservasi energi tentunya suatu saat akan menjadi bukan saja fitur bisnis dan “compliance “ ke aturan pemerintah, namun mulai nge-trend dan bahkan menjadi kebutuhan setiap perusahaan yang maju. Penggunaan bahan “daur ulang”, makan makanan organik, kegiatan “bike to work”, kesemuanya ini adalah antara lain upaya individu untuk mengejawantahkan gaya hidup baru yang lebih ‘hijau’.
Universitas Indonesia pun tidak tanggung-tanggung dalam “going green”. Di samping memantapkan keberadaan hutan-hutan mini di lingkungan kampus, jalur sepeda sudah hampir 100 % jadi dan di kampus pun sudah tersedia 1000 sepeda sumbangan pemerintah swedia untuk para mahasiswa yang dilarang berkendaraan dan parkir motor atau mobil di kampus. Teman saya berkomentar,”Wah bisa usaha parkir dong, di luar kampus.” Ia menyoroti keadaan di mana mahasiswa yang tidak terbiasa naik kereta, diperkirakan akan tetap membawa kendaraan sampai ke dekat kampus. Wah, ini artinya sikap hidup ”going green” sulit untuk diterapkan secara total. Bahkan, di negara-negara maju dengan rakyat yang individunya sudah berpikiran modern, ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa individu yang sudah hidup ”hijau” di rumahnya tidak menjamin perilaku yang sama di kantor atau mengindahkan himbauan di hotel untuk menggantung kembali handuk yang dirasa tidak perlu dicuci. Bagaimana dengan bangsa kita untuk alih-alih “going green”, sementara es batu yang dibuat dari sungai kali ciliwung masih diminum tenang-tenang, pemanis buatan yang tidak terjamin mutunya masih marak dikonsumsi, begitu juga penggunaan zat warna untuk tekstil dalam makanan?
Saya ingat teman anak saya, yang berobsesi untuk menjual “green living”, di tahun 90-an, secara “kepagian”. Ia pun menerbitkan majalah gratis AIKON dengan cetakan di atas kertas daur ulang, yang mahal harganya. Ia juga melakukan gerakan pemilahan sampah di daerah Kemang yang tidak berbuah perubahan sikap sampai saat ini. Ujung-ujungnya dia tidak kuat mendanai semua “kemewahan” berpikirnya yang soliter, sendirian, padahal idealis dan penting. Kita-kita yang ada di dekat individu seperti ini sering kagum menyaksikannya, tetapi tidak bergerak mengikuti tindakannya.
Mengapa teman kita ini tidak berhasil? Alasannya banyak. Banyak orang yang tidak “walk the talk”, kuat berbicara tetapi tidak kuat bertindak. Banyak pula yang sangat ingin melakukannya, tetapi tidak kuat menahan “hambatan sosial”, ejekan teman, wajah bertanya-tanya, anggapan aneh dan kesulitan berubah yang menyebabkan hati kecut untuk meneruskannya. Di samping itu, yang lebih parah lagi adalah saat kita tidak mampu melakukannya karena tidak ada dana. Bisakah menanam padi tanpa pupuk buatan? Bisakah hidup tanpa kantong plastik? Bisakah menjual minuman sehat sekaligus kompetitif? Nampak jelas bahwa untuk benar benar ”going green” perlu ada ”power” yang kuat untuk merubah kebiasaan-kebiasaan. Otoritaslah yang mampu melakukan hal ini. Mungkin kita tidak usah mengharapkan otoritas yang super power seperti pemerintah, tetapi, orang tua, guru, kepala sekolah, RT, RW, lurah dan yang paling penting, pimpinan perusahaan dan para manajer-lah yang sebenarnya memegang kekuatan ”Reward & Punishment” yang jelas.
’Go Green’ Secara Bertahap
Di dalam toilet biasanya tertulis:”Jangan buang tissue ke dalam toilet”. Namun, di sebuah kantor, saya melihat tulisan yang berbeda:”Kesehatan Anda banyak bersumber di tangan Anda. Cucilah tangan Anda bersih-bersih. Gunakan tissue seperlunya”. Rupanya “campaign” di kantor ini dimulai dari hidup bersih, sehat, baru kemudian diikuti dengan keramahan lingkungan. Kita pun bisa menanamkan kesadaran akan energi tanpa langsung memerintahkan untuk mematikan lampu, komputer dan alat listrik, tetapi dengan mengajak bawahan dan para karyawan di bawah pengaruh kita untuk menghargai energi, misalnya mengkaitkannya dengan kebugaran fisik, pembakaran kalori dan kesehatan jiwa maupun raga.
Pemahaman mengenai konsumsi enerji secara bijaksana memang perlu dimulai dari lingkungan yang paling dini dan kecil, yaitu dari rumah dan sekolah. Tanpa pembahasan dan penyadaran akan manfaat dan dampak konsumsi bahan bakar, kita bisa menjadi masyarakat yang buta enerji. Salah satu contoh kecil, kita makin sibuknya menggunakan tissue dan piring styrofoam, karena ingin “praktis”, tanpa sadar bahwa lingkungan tambah menderita, badan bertambah malas dan tidak sehat. Gaya hidup “going green” pun jadi terlalu sulit dijangkau secara langsung. Jika kita mau sedikit memperhatikan hal di luar diri kita, kita bisa lihat bahwa kita banyak mengabaikan hal-hal di sekitar diri kita yang esensial tetapi tidak pernah dikelola secara serius, seperti air, angin, tanah, udara, dan kesehatan kita. Tanaman dan binatang sebenarnya adalah indikator yang baik tentang ketidakpedulian kita terhadap unsur-unsur alam tadi. Bila tanaman dan binatang saja tidak bisa tumbuh segar, bagaimana dengan kesehatan paru paru, ginjal, darah kita dan anak-anak kita?
Pikirkan Sejenak, Sebelum Bertindak
Tentu saja, kita tidak bisa berhenti total menggunakan plastik. Bahkan perusahaan seperti IKEA yang sangat percaya pada lingkungan tetap menggunakan kantong plastik. Hanya saja, kesadaran ditingkatkan dengan keharusan membeli kantong plastik senilai 500 rupiah, menjual tas blacu yang bisa dicuci, sehingga konsumsi tidak sembarangan dan dipikirkan sejenak. Bila kita stop berpikir sejenak sebelum menggunakan lift untuk pergi ke satu lantai diatas, mungkin kita akan memutuskan untuk menggunakan tangga saja, demi kebugaran dan penghematan enerji. Kita pun akan lebih bertanggung jawab dan lebih peduli sampah, bila sebelum membuang sampah, kita stop diri sedetik dan berpikir kemana sampah ini akan pergi. Hidup penuh kepedulian, akan membawa kita ke hidup yang lebih bermakna, dan dengan sendirinya memungkinkan kita lebih menikmati hidup yang memang sudah dan masih indah ini. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 12 April 2008)