Diuntungkan oleh adanya berbagai milis di internet, kita bisa “menonton” hal-hal yang oleh mayoritas kita tidak pernah kita alami. Salah satu kabar tergres dari sebuah milist menggambarkan:”Di tengah kemiskinan yg menggerogoti bangsa ini, tiga menteri dan ratusan pengusaha kakap hadir di Singapura untuk menghadiri acara pernikahan seorang konglomerat kelas kakap Indonesia . Daya pikat pesta tak sebatas lagu-lagu nostalgia, kristal, semerbak bunga dan kaviar hitam dari Laut Kaspia, tapi juga dengan diperlihatkannya berlian-berlian superlangka. Tak berlebihan kalau ada yang berbisik bahwa inilah pesta taipan terbesar di awal Tahun Tikus.” Entah bagaimana kita masing-masing menyikapi realita semacam ini. Mungkin ada yang merasa seperti seorang anak membaca buku princess dengan sepatu kacanya atau seperti seorang gadis remaja yang berada di depan etalage butik Hermes dan tidak berangan-angan apa pun, seperti memiliki tas, sepatu, baju puluhan juta rupiah itu, karena realita itu “terlalu jauh” dan tidak terbayangkan olehnya. Pertanyaannya, kalau kesenjangan sebegitu jauh, tidak mungkinkah kita yang biasa-biasa ini merasa kaya? Tentunya kita sama-sama mengerti bahwa kesenjangan kaya miskin di negara kita sangat besar. Tetapi bukankah itu hanya mengacu pada satu ukuran, yaitu finansial?
Seorang psikolog tua Abraham Maslow pernah mengemukakan teori pemuasan kebutuhan, yang menggambarkan hirarki kebutuhan manusia dari yang paling rendah, yaitu sandang pangan papan, ke level berikutnya yaitu rasa aman, lalu dilanjutkan dengan kebutuhan sosial, lalu “self esteem’ dan terakhir aktualisasi diri. Dalam teorinya, Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan di tingkatan yang lebih bawah perlu dipenuhi dulu, sebelum kebutuhan di tingkat selanjutnya dirasakan mendesak. Jadi kalau belum cukup makan, maka individu tidak akan terdorong memenuhi kebutuhan untuk ”gaul”. Tentunya teori ini hanya berlaku bila ukuran ”cukup” bagi individu jelas. Individu yang tamak, tentunya ukuran “cukup”-nya berbeda dengan individu yang merasa “puas” dengan hal-hal yang sedikit dan lebih sederhana. Yang jelas, tidak semua kebutuhan yang dirasakan oleh individu perlu diakomodir oleh uang. Ini tentunya ”good news” bagi kita yang kebetulan tidak berkesempatan mempunyai akses ke ”kelebihan finansial” yang berlimpah, tetapi ingin juga merasa ”kaya”.
Merasa Kaya melalui Kontribusi
Dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh almamater saya, Fakultas Psikologi, beberapa dari kami, terhenyak ketika diminta menjawab pertanyaan: “Apa yang sudah Anda sumbangkan pada almamater?” Ada teman yang spontan menjawab bahwa ia giat mengupayakan pembangunan gedung fakultas, ada yang mengarang hymne dan adapula yang aktif dalam kegiatan kegiatan dies natalis. Saya pribadi merasa tertampar dan sangat menyadari betapa selama ini belum ada kontribusi signifikan yang saya sumbangkan ke fakultas. Apapun kontribusinya, seberapa pun besarnya, kepada lembaga, mulai dari yang sekecil apapun, baik keluarga, rukun tetangga, almamater, perusahaan bahkan negara, bila kita sudah melakukannya, sebenarnya bisa membuat kita berjalan lebih tegak dan ”merasa kaya”.
Beberapa waktu yang lalu, di harian Kompas, diceritakan kisah seorang bernama Yadi, guru olahraga di daerah sukabumi yang bergaji 100 ribu sebulan dan rela mengajar, mengawasi murid dengan penuh tanggung jawab. Pak guru tadi mungkin perlu memutar otak dan tenaga untuk menjawab pertanyaan, ”makan apa esok hari”. Namun, sumbangannya dalam dunia pendidikan, dengan semangat menggebu-gebu, ambisi dan misi yang jelas dan di-”enjoy”-nya, bisa membuatnya merasa ‘kaya’ dengan cara yang berbeda.
Mengisi” Diri dengan Aspek Kehidupan Lain
Mengisi” Diri dengan Aspek Kehidupan Lain
Teman-teman saya di milist ”penggemar makan” adalah orang-orang istimewa. Meski latar belakang pendidikan dan pekerjaannya beragam, mereka punya kebiasaan yang kurang lebih sama. Di samping membahas, mengupas dan men-share pengalaman mengenai makanan, pengalaman hidup yang signifikan seperti perjalanan, kamera baru, pernikahan ataupun situasi ”menjadi ibu baru” pun ditulis. Dalam milist itu, kita pun saling membahas apresiasi kita terhadap persahabatan dan kekeluargaan di antara kita, sehingga terasa sekali bahwa setiap individu anggotanya masing-masing ”enjoy”, merasa bahagia dan ’berisi’. Ternyata, dari pertemanan sederhana ini kita bisa belajar bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah membuat orang merasa kaya. Kekayaan pengetahuan, perasaan, reaksi emosi, kreativitas, struktur kepribadian yang demokratis dan terbuka menyebabkan orang merasa bebas, tidak terkungkung dan bisa menjangkau apa yang diinginkannya secara realistis.
Menjadi ”Kaya” melalui Pilihan
Sebagai bangsa yang merdeka, setiap individu sebenarnya bisa memanfaatkan kebebasan memilih jalan pikir, rasa dan tindakannya. Setiap pilihan yang cermat akan membuat individu puas dan merasa hidup lebih baik. Bila kita kurang menyadari bahwa pilihan pengalaman dan perasaannya dalam interaksi dengan orang lain bisa ’memperkaya’ diri kita, maka pengalaman dengan orang tertentu sering ”lewat begitu saja” dan tidak dihayati dengan mengerahkan seluruh penginderaan sehingga pengalaman tidak terpotret kemudian terserap secara optimal, di samping tidak terintegrasi dengan perasaan yang menyertainya. Ketidaksadaran dan ketidakmampuan inilah yang sering menyebabkan orang yang kaya uang makin berusaha menimbun kekayaanya atau orang yang tidak mempunyai cukup uang merasa miskin.
Andaikata saja tiap individu menyadari bahwa ia juga bisa mendapatkan kepuasan bahkan penghargaan dirinya melalui pilihan dan optimalisasi fungsi pikir, pekerjaan tangan, ketrampilan dan karyanya, apakah sebagai konglomerat, guru atau bahkan tukang sapu, rasanya setiap orang berhak dan tidak sulit untuk merasa ”kaya”. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 3 Mei 2008)