Sebuah diskusi seru terjadi saat kami membicarakan perlunya karyawan menampilkan ’professional honesty’. Dalam bisnis di mana semua orang punya tujuan yang sama, yaitu laba dan ada kelaziman untuk menghalalkan berbagai cara demi laba, kami mendiskusikan, bisakah perusahaan menggariskan dan menegakkan ’professional honesty’ dengan tegas? Sejauh manakah individu dapat mengatakan hal yang sebenarnya, tanpa takut dipecat atau tidak mendapatkan proyek? Bila seorang salesman ditanya oleh kliennya, apakah ia bisa menjamin bahwa barang akan terpasang dalam 1 bulan, haruskah ia mengatakan bahwa ia ragu? Bagaimana menyatakan “tidak” untuk proyek yang menggiurkan namun berpotensi untuk melakukan hal yang merugikan masyarakat luas, lingkungan , bahkan negara? Kita lihat bahwa praktik menjunjung tinggi etika memang berat, apalagi untuk orang atau organisasi yang tidak meyakininya.
Kita sadari bahwa standar tinggi dalam panduan perilaku organisasi atau profesi sering jadi sulit diyakini dan dianggap tidak memadai karena seseorang hanya bisa dianggap menjunjung tinggi etika profesi kalau ia berlaku konsisten setiap saat. Buat seorang profesional yang bekerja sendirian, seperti dokter, ahli hukum, psikolog, insinyur, dan arsitek, menjaga etika memang sedikit lebih mudah, karena “Do‘s” dan “Don’ts” yang sudah digariskan sudah berbentuk perilaku yang dihalalkan dan tidak. Saat menghadapi situasi ‘abu-abu’, seorang professional juga lebih mudah bisa mengira-ngira, apakah tindakannya professional atau tidak, dengan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang akan terjadi bila semua orang dengan profesi yang sama seperti saya melakukan hal ini?” Dengan demikian, “rem” untuk melakukan hal yang tidak terpuji dan melanggar hak asazi manusia lain akan dengan sendirinya terpelihara.
Bagaimana dengan kita yang bergerak di dunia bisnis dan organisasi? Apakah mungkin kita menegakkan etika bisnis, di mana kita semua tahu bahwa semua orang mengejar tujuan yang sama yaitu laba. Kita tahu bahwa pekerjaan pebisnis sulit dikatakan sebagai profesi dan seringkali tidak memerlukan lisensi. Bila hari ini kita mau menjadi agen koran, maka kita tinggal mencari sedikit modal dan mengumpulkan beberapa calon loper dan menjajakannya, maka kita sudah jadi pebisnis. Begitu juga, kalau kita mau berdagang apa saja. Apakah kita mau mengambil untung yang pas-pasan atau mengambil untung banyak dan mencari pasar yang tidak kenal barang, itu semua pilihan. Kalau bisnis tidak berlanjut dan kita bankrut, tak ada orang yang mengevaluasi apakah binis itu dijalankan menurut etika atau tidak. Bila demikian halnya, seberapa pentingnya urgensi kita menegakkan bisnis yang beretika?
Nikmatnya Menjaga Etika
Pada suatu hari saya bertemu dengan kenalan saya, seorang mantan konglomerat yang masih “bermasalah” dengan utang BLBI. Terlepas bahwa teman kita ini masih “berduit”, bahkan masih mengembangkan usaha yang tidak kecil, tergambar kesuraman pada raut wajahnya. Tampak jelas bahwa Bapak ini tidak “happy”, mungkin karena tidak bisa mengangkat muka dengan tegar. Dari sini kita membuktikan bahwa bersikap etis itu membawa makna, rasa ”nyaman” dan kebahagiaan dalam kehidupan, dan sebaliknya, sikap tidak etis yang pernah dilakukan akan menimbun beban dalam diri seseorang.
Di sisi lain, kita sama sama sadar bahwa bila dalam berbisnis kita ingin menjunjung tinggi etika maka kita bisa jadi sulit berkompetisi. Banyak sekali orang yang menjadi ”pemain besar” dengan berkiprah di area praktik ”legal tetapi tidak etis”, misalnya saja “memotong” kompetitor, menjelekkan kompetitor, atau berusaha memperoleh keterangan yang sebenarnya adalah data yang rahasia. Orang- orang ini tentunya memang jagoan dalam memenangkan bisnis, tetapi jelas sulit untuk menepuk dada dan menyatakan “Saya dan perusahaan kami menjunjung tinggi etika”.
Kita mengenal betapa banyak pebisnis yang mempunyai “kekuatan” melakukan praktek – praktek yang secara legal sulit dibuktikan kesalahannya, tetapi mematikan pedagang kecil, merugikan negara, dan jelas tidak “fair”. Namun sebaliknya tidak jarang juga saya mengenal secara pribadi beberapa pebisnis, skala kakap ataupun teri, yang bisa dikatakan tetap menjunjung tinggi etika. Bahkan tanpa pendidikan formal yang hebat, teman – teman pebisnis ini merasa “malu” bila tidak menepati janji, berhutang ataupun membangga-banggakan kehebatannya. Jadi ada juga kalangan pebisnis yang entah darimana belajarnya, sudah menjunjung tinggi harga dirinya dan berusaha untuk percaya, dipercaya, berkooperasi, tidak oportunistis, dan mati-matian menjaga “nama baik” dirinya dan perusahaan”. “Nama kan tidak bisa diganti. Sekali rusak, seumur hidup kita tidak dipercaya.”, demikian ujar teman saya seorang pebisnis.
Integritas sebagai Fitur Bisnis
Menciptakan perusahaan yang memanfaatkan etika bisnis sebagai aset dan daya tarik perusahaan tentunya tidak gampang dan jarang terjadi. Di tengah gaya kompetisi “red ocean” yang nyata-nyata membuat para kompetitor saling tiru, saling membunuh, banting harga sehingga berdarah-darah, CEO Mandiri, Agus Martowardoyo menekankan “values” sebagai prioritas perusahaan dan meyakini bahwa “value-creating strategy” adalah strategi yang menyebabkan perusahaan tidak bisa di “copy” oleh pihak lain. Dengan menekankan perilaku berbasis etika ini, perusahaan bisa men-”deliver” servis dengan cara yang lebih tulus, jujur dan tepercaya. Selain itu tempat kerja yang semakin “fun” dan “bersih” juga “menjual”, karena orang senang berbisnis dengan orang-orang bersih.
Dengan meyakini dan berbekal ke-”pede”-an, kerja keras, ”play by the rule” serta kesungguhan hati untuk berbisnis secara etis, maka setiap individu di perusahaan akan tertantang untuk mencari solusi kreatif dan berinovasi agar tetap kompetitif di pasaran. Bukankah hanya kreasi dan inovasi membuat semangat kita tetap hidup dan bugar?
(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)