blocknotinspire.blogspot.com berisi Kumpulan Business Ethics, Business Tips, Inspire Spirit, Leadership and Culture , Love and Life, Management HR, Motivasi Spirit, Smart Emotion, Success Story, Tips Keuangan, Tips Marketing dan Tips Sehat Semoga Bisa Menjadikan Anda lebih SUKSES dari hari kemarin.
Kunjungi Versi Mobile KLIK http://blocknotinspire.blogspot.com/?m=1 atau ( KLIK DISINI )

Kisah Sukses Aziz Gagap

Saya punya idola seorang pesohor.  Tepatnya, dia seorang pelawak, yang kadang-kadang masuk dapur rekaman sebagai penyanyi.  Suaranya pas-pasan, tetapi karena namanya sedang mencorong dan punya kemauan keras untuk maju, albumnya lumayan laku.

Profesi sampingan lain, sebagai pemain film dan pemandu acara di TV.  Istilah kerennya, sebagai host.  Juga tidak terlalu menonjol, meskipun rating-nya lumayan oke.  Lengkap sudah peran sang tokoh ini sebagai seniman.  Pelawak, penyanyi, pemain film, dan juga pembawa acara.  Semuanya rata-rata saja, tidak hebat, tidak laku keras, tidak ngetop, tapi sustainable, ajeg dan bertahan lama.
Dia manggung  sejak 1991, sampai kini.  Kariernya sudah lebih dari 10 tahun.   Di Indonesia, jarang ada  selebriti yang awet terkenal lebih dari 3 tahun.  Sang tokoh ini merupakan sedikit dari mereka yang tergolong pengecualian.
Nama aslinya Muhammad Azis.  Lebih terkenal sebagai Azis Gagap.  Nama lain yang masih mirip adalah Azis Pura-pura Gagap.  Dia lahir di Jakarta, 39 tahun lalu, dari keluarga sederhana.  Lenong adalah pentas pertama Azis dalam mengawali karier melawaknya. Dia harus berkeliling dari  satu desa ke desa lain,  sekedar untuk membuat dapurnya mengepul.  Tahun 1999 dia bergabung  dengan grup lawak Bagito dalam acara “Paviliun 21″ di TVRI.  Jalan hidupnya berubah, ketika Aziz berkenalan dengan Patrio, pimpinan Bagito.
Sejak tahun 2008 karier Azis mulai menanjak dengan main di Opera Van Java (OVJ), bersama Parto, Sule, Andre, dan Nunung.  Dan disitulah Azis mendaki karier menuju ke puncak popularitasnya.  Di OVJ pulalah namanya semakin melejit.  Konon, Aziz dibayar 25 juta rupiah setiap episode.  Anda bisa hitung sendiri, berapa pendapatannya, bila dia manggung 25 kali setiap bulan.  Luarbiasa besarnya bukan?
Tapi, yang membuat namanya tak gampang dilupakan orang adalah tambahan predikat “Gagap” dibelakang Azis.  Dia “terpaksa” harus belajar bicara gagap.  Setiap kali mengucapkan 1 atau 2 kata, Azis harus berhenti ngomong dan (pura-pura) tersengal-sengal, sebelum menuntaskan kalimatnya.  Bahasa Inggrisnya stutter.  Bahasa Sundanya, Arap-ap-eureur-eup atau ngatog.  Itu yang membuat Azis sukses seperti saat ini.
Ketika ditanya wartawan mengapa dia harus (pura-pura) dan menambah namanya dengan “Gagap”,  dengan ringan menjawab : “Itu kan sekedar selling point”.  Azis yang tak pernah belajar teori marketing, menerapkan  strategi pemasaran produk dengan jitu, yaitu mempunyai selling point.  Pilihannya tepat.  Dia sukses dan duit membanjiri koceknya.
Ternyata, Azis Gagap tidak sendirian.  Duapuluh lima tahun lalu, ada pelawak kondang dengan predikat yang menjadi titik-jual. Namanya Darto, julukannya “Darto Helem”.  Itu gara-gara kepalanya botak, licin.  Persis mirip helem pengendara motor.  Ada juga grup lawak, yang terdiri dari orang-orang kuntet dan menyebut dirinya Smekot, atau “semeter-kotor”.  Tukul Arwana, host terkenal acara “Bukan Empat Mata”, justru menggunakan “keblo’onan” sebagai selling point untuk menjual namanya, dan dia sukses besar.
Selling point merupakan hal lumrah dalam dunia jualan.  Tidak hanya artis yang “minta bantuan” titik-jual untuk melariskan dagangannya, tetapi juga produk barang jadi.  Sepatu Nike menggunakan “Just Do It”, sementara Coca-Cola menggunakan jargon “Dimana saja, kapan saja, siapa saja, minum Coca Cola”.  Tolak Angin mencap dirinya sebagai “minuman orang pintar”.  Sama sekali tanpa alasan.   Mengapa orang pintar harus minum Tolak Angin dan apakah yang tidak minum adalah “orang bodoh”?  Biasanya, selling point dipakai apabila tanpa itu, pamornya tidak kunjung beken.
Sekali lagi, dalam dunia marketing, selling point adalah hal yang lumrah saja.  Ia tidak harus dihayati secara sungguh-sungguh sebagai roh atau jiwa produk itu.  Sekedar “biar laku” saja.  Ia tidak harus ditanggapi secara berlebihan.  Ia bukan predikat sejatinya. Ia  tidak harus persis seperti itu.  Kalau saja ada orang yang marah-marah kepada produsen Coca Cola karena dianggap memaksa semua orang harus minum Coca Cola, maka sebaiknya dia dibawa ke Psikiater.
Itulah yang juga dilakukan oleh penyanyi atraktif Lady Gaga.  Dia menyebut dirinya sebagai “Mother Monster”, dan supaya lebih seram, memanggil fans fanatiknya “Little Monsters”.  Ternyata, ibu para monster tadi  sukses menggapai kariernya.
Mulai belajar menyanyi sejak usia 14 tahun, Gaga  lahir di New York dari sebuah keluarga soleh beragama.  Pada mulanya dia sulit menapakkan namanya di dunia industri-hiburan, sampai akhirnya dia “nekad” mencopot gaunnya di panggung pertunjukannya di New York.  Sejak itu, Gaga tidak pernah gagal dalam shownya.  Gaga manjadi maha-bintang hanya dalam waktu setahun lebih.  The Fame, album pertamanya, meledak laris, laku 12 juta cakram.  Lagu Gaga yang lain, bertitel Born This Way, laku 8 juta dan The Fame Monster terjual 15 juta kopi (Majalah Tempo, 28, 3 Juni 2012, hal 42).
Melihat ulahnya dan Gagaisme yang digaungkan, timbul pertanyaan dalam benak saya.  Apakah Gaga pernah bertemu setan?  Apakah Gaga sering berhubungan dengan setan?  Atau, apakah dia seorang anti-Tuhan  dan berpihak kepada setan?  Saya hampir yakin, jawabnya adalah : “Tidak”.  “Mother Monster” yang menjadi julukan Gaga semata-mata hanyalah selling point  untuk melariskan “dagangannya”.  Ia persis  seperti Gagap untuk Azis,  atau Helem untuk Darto, atau Just Do It untuk Nike.  Ia hanya alat untuk mendongkrak dagangannya agar lebih laris.  Mengapa kemudian Lady Gaga didiskreditkan sebagai “biang setan” yang mengasuh “para setan kecil”?  Menterjemahkan “monster” dengan “setan”, saya duga hanyalah plintiran kampanye-hitam  untuk menghancurkan dia yang akan tampil di Jakarta.  Terjemahan monster yang lebih pas, adalah “makhluk aneh”, atau “binatang ganjil”, bukan “setan”.
Ontran-ontran Gaga di Indonesia menyentak saya akan esensi sebuah bangsa.  Ternyata kita belum mampu menjawab apa itu sebuah dialektika perbedaan pendapat.  Ia selalu dianggap permusuhan yang mengharuskan salah satu harus kalah, hancur atau bahkan mati.  Ia menjadi jawaban bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar  untuk menyelesaikan perbedaan.  Ia merupakan pilihan antara saya atau kamu, dan tidak kita.  Kita menjadi gagap dalam banyak hal.  Tidak hanya gagap berbicara seperti Azis, tetapi juga gagap dalam berpikir,  gagap dalam berbeda pendapat,  gagap dalam bersikap, gagap dalam bertindak, gagap dalam bertutur kata, bahkan gagap dalam berbangsa.
Setelah gonjang-ganjing Gaga mereda di awal minggu ini, ada baiknya kita mengevaluasi, berapa banyak energi bangsa sia-sia, untuk mengelola seorang Gaga.  Mulai dari Presiden, MenKo, Menteri,  Polisi, Politisi, Cerdik-cendekia, pemuka agama sampai ormas-ormas. Semuanya menguras tenaga untuk sang Puteri.  Jutaan orang terlibat adu-keras untuk mengatakan “ya” atau “tidak” bagi Gaga. Terjadi pertempuran tidak seimbang, antara Lady Gaga versus Bangsa Gagap.  Kita telah melakukan kebodohan yang tidak perlu, dengan memeras perhatian, waktu, tenaga, dan dana  sehingga lupa akan masalah utama bangsa ini, yaitu kebodohan, ketidak-adilan dan kemiskinan.
Akhir minggu ini, ketika luka di dalam diri kita - peningggalan perseteruan pro-kontra Gaga masih membekas dan sulit dihapus -  sang Gaga sudah tersenyum lebar dan menari-nari kegirangan.  Dia pulang ke negaranya dengan mengantongi hampir 10 milyar rupiah. Diambil dari cadangan devisa kita yang sudah banyak tergerus karena naiknya harga Dolar.   Dia tidak harus capai menyanyi dan menari dengan pakaian seronok dengan penari latar sensual, di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Lantas timbul pertanyaan menyeruak di hati saya.  Silakan pilih jawabannya; siapakah yang pintar dan siapakah yang bodoh, siapakah yang beruntung dan siapakah yang merugi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah, siapakah yang senang dan siapakah yang susah : Lady Gaga atau kita?

Sumber : kompasiana.com


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More