Saya cukup surprise dengan paparan seorang pimpinan lembaga tinggi negara yang ketika ditanyai mengenai kepemimpinan justru menekankan pentingnya ‘rasa’ dalam memimpin. Ya, selama ini, sadar tidak sadar, kita memang terkadang mengabaikan dan mengesampingkan penajaman ‘rasa’ atau ‘sensing’ dan memandang rendah kontribusi ‘rasa’ terhadap keberhasilan seseorang dalam karir dan pekerjaan. Kita tahu, seseorang yang diproyeksikan untuk naik jabatan, biasanya akan menerima pembekalan dan pelatihan intensif terkait prosedur, manajemen, analisa dan problem solving, namun umumnya hanya sedkit menyentiuh ‘rasa’. Padahal, bisa kita bayangkan betapa sulitnya seseorang untuk bisa berhasil memimpin bila ia tidak ahli mengelola ‘rasa’. Bukankah kita lihat para anggota DPR pun terkadang dikritik karena mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat sasaran, mengeluarkan pernyataan yang kurang sensitif dan diniliai kurang punya ‘rasa’ dalam melihat dan menyikapi permasalahan yang ada?
Saya jadi terpikir, betapa ruginya, kalau rasa atau ‘sensing’ yang kita fungsikan baru sebatas ‘panca indera’ saja: cium, dengar , kecap, lihat, raba? Bagaimana dengan intuisi, firasat, simpati, empati, rasa percaya dan tidak percaya, yang kesemuanya melibatkan ‘rasa’? Bisakah ini semua kita golongkan sebagai indera keenam? Bukankah ‘rasa’ ini, seperti halnya panca indera kita, berfungsi sebagai antena atau radar, modal kita mengambil tindakan? Tepat sekali bila dalam lembaga-lembaga yang berkegiatan ‘putar otak’ intensif, senantiasa diingatkan untuk menggalakkan penggunaan perasaan ini untuk ‘mengelola manusia’ dan berpikir kreatif.
Menajamkan Kesadaran (Awareness)
Perlu kita ingat bahwa menginderai dan kemudian mengetahui, sangat berbeda dengan menyadari (awareness). Sebagai contoh sederhana, semua orang tahu bahwa ini adalah minggu kedua bulan September, tetapi belum tentu semua orang menyadari bahwa akhir tahun tinggal 3 bulan lagi. Kita yang bisa memanfaatkan panca indera tanpa upaya keras, ternyata sering lupa untuk mengasahnya. Sementara, seseorang yang buta sejak lahir, masih bisa me-‘rasa’-kan warna-warninya dunia, tanpa membayangkannya.
Kita lihat, justru orang-orang yang sukses, baik dalam kepemimpinan maupun dalam berwirausaha mempunyai keahlian memelihara kesadaran-kesadaran ini. Dari kesadaran seperti inilah orang bisa melakukan antisipasi, membuat asumsi, memprediksi dan mengelola banyak kegiatan pikir lainnya yang tidak bisa dikuasai melalui latihan saja, melainkan perlu diasah secara individual.
Mengapa Kita Sering Kebal?
Seorang ahli mengatakan bahwa kekebalan ‘awareness’ kita berasal dari ketidakmampuan kita me-’rasa’-kan wanginya sekuntum mawar ketika kita merabanya. Bahkan ahli tersebut mengatakan bahwa kemampuan me-’rasa’-kan itu adalah kemampuan mengenal realitas yang sebenarnya. Kita bisa tidak mengembangkan kemampuan me-’rasa’ ini karena tidak menyadarinya. Seringkali hal tersebut kita samakan dengan pengetahuan. Padahal, kemampuan merasa (‘sensing’) ini merupakan penajaman radar, sensor atau antena untuk mengoptimalkan daya tangkap yang jauh lebih kompleks daripada sekedar menangkap perabaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman. Kompleksitas penangkapan ini banyak melibatkan penghayatan sosial, religius dan emosi sehingga bisa menghasilkan penyimpulan yang kaya.
Lalu, mengapa individu sering tidak menajamkan bahkan secara tidak langsung menumpulkannya? Banyak orang tidak mau tahu sampai akhirnya tidak ‘ngeh’ bahwa dalam dirinya ada kemampuan itu. Seorang teller bank,misalnya, mempunyai prosedur standar yang harus dijalankan bila mencurigai seseorang. Bila prosedur ini sudah dilakukan ratusan kali, maka sebenarnya “sensing” atau kita sering menyebutnya dengan feeling, harus lebih bekerja. Ia pun mestinya mampu mencerap situasi dengan ‘radar’-nya, sebelum melakukan cek-ricek dengan inderanya lagi.
Nah, bila kita sadar bahwa kita dipersenjatai dengan ‘awareness’ seperti ini, bukankah kita akan bisa lebih tajam ‘melihat’ apa yang selama ini ‘tidak kita lihat’? Bukankah kita bisa menemukan hal-hal yang terlewat, seperti mengenal potensi anak buah secara mendalam, meramalkan kesuksesan anak buah, memilih anak buah yang bisa kita percaya atau menilai apakah seorang pelanggan prospek atau tidak. Hanya dengan kesadaran ini jugalah kita bisa menciptakan dan kemudian menikmati suasana saling menghargai, saling percaya dan kerjasama.
Berdansa dalam Penghayatan
Siapa yang tidak pernah mendengar ungkapan maxim: "Think with your head, not with your heart"? Hal ini, lalu telak-telak dibantah oleh para ahli neurologi yang meyakini betapa kompleksnya penginderaan dan betapa hebatnya hasil dari timbal balik kerja otak, daya pikir, rasa dan indera. Lihat saja bahwa orang yang dihadapkan pada situasi yang sama, bisa mempunyai konteks dan ketajaman penghayatan yang berbeda dengan orang lainnya. Ternyata, kita dibekali dengan seribu indera yang bisa diaktifkan untuk berkolaborasi satu dengan lainnya. Mungkin inilah sebabnya banyak ungkapan lintas-indera yang digunakan untuk pemahaman dan penangkapan mendalam tetang sesuatu hal, misalnya: "having a nose for the job..." atau “Breathe through your feet”.
Tampaknya inilah gunanya jendela-jendela luas untuk menikmati cakrawala yang jauh dan indah untuk para eksekutif, agar senantiasa meng-elevasi ‘senses’-nya, sehingga ia punya daya untuk menggerakkan korporasi dan membuat suasana interaksi yang kian kondusif. Kita pelajari bahwa pencerapan dan ‘awareness’ manusia ternyata jauh dan dalam. Tidak hanya fungsional, tapi juga mendesain. Tidak cuma sekadar tanya-jawab tetapi juga berceritera. Tidak saja fokus, tetapi juga ber-simfoni. Tidak saja logika, tetapi juga empati. Tidak saja keseriusan tetapi juga ‘bermain’. Bukan hanya akumulasi tetapi juga ‘meaning’. Di sinilah letak misteri ditumbuhkannya ‘sense of self”, “sense of direction”, “sense of action”, sense of organizing”,” sense of moral direction”, “sense of environment” , sense of belonging”. Dan, wah, masih banyak sekali, bahkan tidak berbatas.
Sumber: Eileen Rachman & Sylvina Savitri www.experd.com