“Menyenangkan sekali setiap kali saya bangun dan mencoba mendengarkan apa yang intuisi katakan pagi itu kepada saya. Itu ibarat ide pemberian cuma-cuma dari alam. Saya bekerja dengan intuisi dan mengandalkannya. Intuisi adalah partner kerja ilmiah saya yang luar biasa!”
(Jonas Salk, penemu vaksin polio)
Jika Anda penggemar film science fiction, pastilah mudah bagi Anda untuk mengingat kembali sekuel pertama film Man in Black (MIB) yang pernah populer di tahun 1997. Tema film tersebut cukup sederhana. Berkisah tentang dua agen rahasia, agen K (diperankan Tommy Lee Jones) serta agen J (diperankan Will Smith), yang bertugas untuk mengawasi sepak terjang para makhluk UFO di bumi. Tugas utama mereka adalah menyalamatkan bumi dari para alien yang bermaksud menghancurkan bumi.
Yang paling menarik, dalam seri pertama film tersebut terdapat kisah mengenai bagaimana awal mula agen J (Will Smith) pertama kali direkrut. Dalam suatu tes ‘eliminasi’ yang menarik, ia diharuskan mengambil keputusan menembak salah satu mahkluk yang menurutnya berbahaya. Dalam gambar makhluk yang disediakan, ternyata ada banyak sekali makhluk alien yang jelek sekali rupanya. Justru, hanya ada satu diantara mahkluk itu yang bagus rupanya, yakni yang berupa wujud seorang gadis kecil. Logika Will Smith mengatakan yang harus ditembak adalah makhuk-makhluk alien yang tampak paling ganas dan paling jelek rupanya. Namun sejenak intuisinya berrkata lain. Ia merasa ada yang tidak beres dengan anak kecil itu. Maka, senjatanyapun ia arahkan ke gadis kecil itu. Voila! Ternyata benar. Wujud anak kecil manis itu ternyata adalah penjelmaan dari makhluk alien amat sadis yang ingin menghancurkan bumi. Will Smith pun lolos dan terpilih menjalankan misi menyelamatkan bumi.
Dalam film Man In Black tersebut, tampaklah bentuk sederhana dari pengambilan keputusan yang didasarkan pada apa yang disebut intuisi. Secara awam, intuisi berasal dari kata Latin ‘intuire’ yang bermakna ‘melihat dan mengetahui dari dalam’. Seperti dalam film tersebut, logika agen Will Smith mengatakan ia harus menembak mahkluk dengan tampang paling mengerikan. Namun, suara batin dari dalam dirinya justru melihat bahwa ada yang tidak beres dengan gadis kecil tersebut. Maka, ketika ia mengikuti suara batinnya, nyatalah ia benar.
Dalam konteks manajemen, cerita ini sebenarnya mirip dengan cerita seorang kepala cabang suatu bank yang merasakan adanya ketidakberesan dengan laporan keuangan yang sebentar lagi akan ia laporkan ke pusat. Di depan dokumen laporan, ia tidak melihat adanya ketidakberesan. Namun, ada dorongan dari dirinya yang membuat ia merasa perlu memeriksa detil beberapa kalkulasi biaya yang dilaporkan. Suara batinnya menuntun ia untuk memeriksa secara detil dan menyeluruh. Dibanding dokumen yang sesungguhnya, akhirnya ia melihat adanya pembulatan-pembulatan yang tidak boleh dilakukan. Sisa-sisa pembulatan, jika dibiarkan bertahun-tahun, dikalikan dengan ratusan ribu nasabah, akhirnya akan menjadi bilangan uang yang cukup banyak. Akhir cerita, ‘suara dari dalam dirinya’ berhasil membongkar suatu konspirasi antara orang IT dengan akuntingnya yang selama ini memasukkan sisa-sisa pembulatan uang ke rekening mereka sendiri. Suatu konspirasi yang akan sulit diungkap jika saja hanya mengandalkan logika belaka.
Cerita ini juga mirip dengan keputusan pertama Djoko Susanto, boss kelompok ritel Alfa yang memutuskan untuk berhenti menjadi kuli borongan dan membangun toko kelontong milik orang tuanya. Intuisinya mengatakan untuk fokus saja pada penjualan rokok. Sementara, secara logika pada waktu itu, jika toko mereka menjual segala macam barang, mungkin hasilnya akan lebih menguntungkan. Namun, justru dengan intuisi berdagang rokok itulah, menjadi cikal bakal kesuksesan Djoko di bidang ritel. Cerita ini juga mirip dengan cerita Martha Tilaar yang setelah kembali ke Indonesia mempunyai ‘keyakinan dari dalam diri’ bahwa ia bisa berhasil di bisnis kosmetik tradisional. Padahal, logika bisnis jamu adalah melawan arus pada waktu itu. Pada era 70-an, ketika Martha Tilaar memulai bisnisnya, image tentang jamu adalah “tidak hiegienis, kotor dan kampungan!”. Toh akhirnya sekarang kita melihat bahwa intuisi Martha Tilaar untuk membangun bisnis kosmetik tradisional ternyata menjadi salah satu legenda keputusan bisnis terbaik di negeri ini.
Semakin ke Atas, Dituntut Semakin Intuitif
Semua kisah di atas, merupakan bukti sederhana bagaimana intuisi berperan besar dalam dunia binsis. Weston H. Agor, penulis dari buku ‘Intuitive Management: Integrating Left and Right Brain Management Skills’ yang melakukan studi mendalam terhadap ribuan manager yang sukses dari berbagai jenis perusahaan di berbagai belahan dunia akhirnya menyimpulkan bahwa para manager yang sukses tersebut ternyata tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk membuat keputusan secara intuitif.
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Professor John Mihalasky dari New Jersey Institute of Technology di Newark semakin memperkuat pentingnya intusisi dalam bisnis. Dalam eksperimen mereka yang menarik, mereka memilih 25 manager yang akan menentukan arah masa depan usaha mereka. Sengaja yang dipilih adalah yang berasal dari kalangan manufaktur kecil agar keputusan mereka tidak terpengaruh oleh komisaris maupun penanam modal. Dari 25 yang terpilih, 12 diantaranya berhasil menggandakan keuntungan perusahaan dalam waktu lima tahun berikutnya. Dan… inilah yang paling menarik, 11 dari 12 manager yang sukses usahanya ternyata mendapatkan skor yang sangat tinggi saat dites intuisi bisnisnya!
Kini, hubungan yang tinggi antara intuisi dengan kesuksesan berbisnis ternyata semakin banyak diungkap oleh para peneliti dan praktisi manajemen. Henry Mintzberg, professor manajemen terkenal dari McGill University di Montreal, mengungkapkan “Sementara banyak manager lumpuh dan bingung. Dalam situasi bisnis yang tidak menentu, para manager yang sukses mengandalkan naluri dan suara batinnya untuk menghadapi permasalahan yang terlalu kompleks untuk dipikirkan dengan analisis rasional biasa”
Kata-kata Henry Mintzberg ini segera mengingatkan saya dengan pengalaman sewaktu masih di Astra, tatkala sedang menyiapkan pertemuan apresiasi bagi para trainer di Astra. Waktu itu, seorang eksekutif didepan para calon pemimpin Astra berkata dengan lantang, “Dalam posisi karyawan di level bawah, kita biasanya mengambil keputusan dengan rasio karena faktor-faktor penentunya yang jelas. Namun, semakin ke atas, semakin tidak menentu faktor maupun variabel penentunya. Bahkan, tidak tersedia data yang mendukung keputusan yang harus diambil. Saat itulah, metode pengambilan keputusan sistematis yang kita pelajari di bangku kuliah, tidak lagi memadai. Saat itulah kita membutuhkan intuisi kita”. Ini pula yang sering diungkapkan oleh Pak Ciputra dalam berbagai kesempatan pertemuan bisnis tentang rutinitas hidupnya. Seringkali, pagi-pagi sekali Pak Ciputra telah bangun dan bermeditasi untuk menjernihkan batinnya agar bisa mengambil keputusan secara bijak. Banyak keputusan besar dalam bisnis Pak Ciputra, yang terang-terangan mengandalkan intuisinya.
Bagian berikutnya dari artikel ini akan menjawab, bagaimana tips dan cara melatih intuisi bisnis tersebut?
Sumber : hrexcellency.com