Ketulusan sebenarnya seperti air yang memercik ke wajah kita, sejuknya kita juga yang merasakan.
Badai krisis moneter di catur wulan terakhir tahun 1997 menerpa sebagian besar bisnis, dan menggiring jutaan manusia Indonesia memasuki ‘kamp pengangguran’!
Boyke (56), pengusaha yang sebelumnya sukses di bisnis advertizing terpaksa gulung tikar. Bisnisnya hancur setelah satu dolar Amerika melewati angka sepuluh ribu rupiah. Bisnis advertizing-nya lunglai! Siapa yang mau memasang iklan? Waktu itu hanya BPPN saja yang giat memasang iklan nama-nama bank yang take over dan yang diliquidasi. Namun Boyke masih sedikit beruntung. Ia tak memiliki utang bank. Tabungan dan depositonya meskipun susut tapi tidak menguap semua. Aset dan inventaris perusahaannya pun masih bisa dia jual, meskipun harganya anjlok, tetapi cukup untuk membayar pesangon 26 orang karyawannya.
Di belahan kota Jakarta lainnya, Toro (32) yang bekerja di bagian promosi pabrik farmasi terkena PHK. Perusahaannya bangkrut oleh utang dan tak mampu lagi mengimpor bahan baku. Toro memang mengantongi pesangon, tetapi itu bukan jaminan untuk hidup selanjutnya.
Toro cukup dekat dengan Boyke dan keluarganya. Mereka bertemu karena perusahaan Toro adalah klien Boyke. Hubungan mereka relatif lama, dan selama ini terbina cukup akrab. Kedua orang ini masing-masing sudah tahu keadaan yang menimpanya.
Suatu hari, Boyke menelepon Toro, “Saya mencoba bisnis baru. Jika kamu berminat kita bisa ketemu.” Toro benar-benar bersyukur. Ini sebuah rahmat bagi seorang pengangguran! Lalu Toro pun memasarkan produk Boyke, paper film. Produk ini adalah alternatif film sparasi yang harganya melejit empat kali lipat, tapi fungsinya terbatas untuk print-out teks buku saja.
“Toro, saya masih ingin menjajaki pasar paper film ini. Jadi, kita berdua dulu yang bekerja,” ujar Boyke dan Toro tak keberatan. “Perihal gaji bagaimana?” tanya Boyke. Toro punya usul, “Saya tak menuntut banyak. Pak Boyke kira-kira saja berapa pantasnya. Tapi komisinya bagaimana?” Boyke memutuskan, “Begini saja, kamu dapat sepuluh persen dari penjualan.” Toro tersenyum setuju.
Pada bulan pertama sepertiga stock produk itu berhasil diserap pasar. Bulan kedua turun drastis, kurang dari selusin yang terjual. Tiga bulan berikutnya tak ada permintaan sama sekali. Toro mulai hopeless dan gulty feeling. Boyke juga agak frustrasi.
Akhirnya Toro menyatakan tak sanggup lagi memasarkan produk Boyke. Bila pekerjaan ini diteruskan, Toro khawatir akan membebani Boyke, dan bagi dirinya yang hanya menerima gaji minim juga cukup berat untuk hidup. Sementara itu komisi dari produk yang berhasil dijualnya belum pernah dibayar Boyke. Toro akhirnya membulatkan niatnya untuk pamit dan minta maaf karena gagal menjual produk Boyke ke pasar. Boyke bisa menghargai keputusan Toro, tapi bagaimana komisi yang pernah dia janjikan? Boyke diam saja, dan tak menyinggung soal komisi. Toro juga tahu diri, ia bisa melihat stock barang yang masih menumpuk di gudang. Ia berpikir pasti uang Boyke cukup besar mengendap di barang itu. Toro sebenarnya mengharapkan komisinya, namun ia mencoba berdamai dengan hasratnya itu. Ia tak mau ribut soal fulus! Toro pun iklas komisinya tak dibayar!
Mencermati ketulusan Toro, dan sikap diam Boyke, apakah Anda memiliki rekomendasi dan solusi untuk mereka berdua? Barangkali sekadar mengingatkan bahwa ketulusan sebenarnya seperti air yang memercik ke wajah kita, sejuknya kita juga yang merasakan.
Badai krisis moneter di catur wulan terakhir tahun 1997 menerpa sebagian besar bisnis, dan menggiring jutaan manusia Indonesia memasuki ‘kamp pengangguran’!
Boyke (56), pengusaha yang sebelumnya sukses di bisnis advertizing terpaksa gulung tikar. Bisnisnya hancur setelah satu dolar Amerika melewati angka sepuluh ribu rupiah. Bisnis advertizing-nya lunglai! Siapa yang mau memasang iklan? Waktu itu hanya BPPN saja yang giat memasang iklan nama-nama bank yang take over dan yang diliquidasi. Namun Boyke masih sedikit beruntung. Ia tak memiliki utang bank. Tabungan dan depositonya meskipun susut tapi tidak menguap semua. Aset dan inventaris perusahaannya pun masih bisa dia jual, meskipun harganya anjlok, tetapi cukup untuk membayar pesangon 26 orang karyawannya.
Di belahan kota Jakarta lainnya, Toro (32) yang bekerja di bagian promosi pabrik farmasi terkena PHK. Perusahaannya bangkrut oleh utang dan tak mampu lagi mengimpor bahan baku. Toro memang mengantongi pesangon, tetapi itu bukan jaminan untuk hidup selanjutnya.
Toro cukup dekat dengan Boyke dan keluarganya. Mereka bertemu karena perusahaan Toro adalah klien Boyke. Hubungan mereka relatif lama, dan selama ini terbina cukup akrab. Kedua orang ini masing-masing sudah tahu keadaan yang menimpanya.
Suatu hari, Boyke menelepon Toro, “Saya mencoba bisnis baru. Jika kamu berminat kita bisa ketemu.” Toro benar-benar bersyukur. Ini sebuah rahmat bagi seorang pengangguran! Lalu Toro pun memasarkan produk Boyke, paper film. Produk ini adalah alternatif film sparasi yang harganya melejit empat kali lipat, tapi fungsinya terbatas untuk print-out teks buku saja.
“Toro, saya masih ingin menjajaki pasar paper film ini. Jadi, kita berdua dulu yang bekerja,” ujar Boyke dan Toro tak keberatan. “Perihal gaji bagaimana?” tanya Boyke. Toro punya usul, “Saya tak menuntut banyak. Pak Boyke kira-kira saja berapa pantasnya. Tapi komisinya bagaimana?” Boyke memutuskan, “Begini saja, kamu dapat sepuluh persen dari penjualan.” Toro tersenyum setuju.
Pada bulan pertama sepertiga stock produk itu berhasil diserap pasar. Bulan kedua turun drastis, kurang dari selusin yang terjual. Tiga bulan berikutnya tak ada permintaan sama sekali. Toro mulai hopeless dan gulty feeling. Boyke juga agak frustrasi.
Akhirnya Toro menyatakan tak sanggup lagi memasarkan produk Boyke. Bila pekerjaan ini diteruskan, Toro khawatir akan membebani Boyke, dan bagi dirinya yang hanya menerima gaji minim juga cukup berat untuk hidup. Sementara itu komisi dari produk yang berhasil dijualnya belum pernah dibayar Boyke. Toro akhirnya membulatkan niatnya untuk pamit dan minta maaf karena gagal menjual produk Boyke ke pasar. Boyke bisa menghargai keputusan Toro, tapi bagaimana komisi yang pernah dia janjikan? Boyke diam saja, dan tak menyinggung soal komisi. Toro juga tahu diri, ia bisa melihat stock barang yang masih menumpuk di gudang. Ia berpikir pasti uang Boyke cukup besar mengendap di barang itu. Toro sebenarnya mengharapkan komisinya, namun ia mencoba berdamai dengan hasratnya itu. Ia tak mau ribut soal fulus! Toro pun iklas komisinya tak dibayar!
Mencermati ketulusan Toro, dan sikap diam Boyke, apakah Anda memiliki rekomendasi dan solusi untuk mereka berdua? Barangkali sekadar mengingatkan bahwa ketulusan sebenarnya seperti air yang memercik ke wajah kita, sejuknya kita juga yang merasakan.
Oleh : Jansen H. Sinamo