blocknotinspire.blogspot.com berisi Kumpulan Business Ethics, Business Tips, Inspire Spirit, Leadership and Culture , Love and Life, Management HR, Motivasi Spirit, Smart Emotion, Success Story, Tips Keuangan, Tips Marketing dan Tips Sehat Semoga Bisa Menjadikan Anda lebih SUKSES dari hari kemarin.
Kunjungi Versi Mobile KLIK http://blocknotinspire.blogspot.com/?m=1 atau ( KLIK DISINI )

Leading With Emotional Intelligence

Because emotions are ‘contagious’, particularly in a group in the workplace or in the government, emotions spread most powerfully from the leader outward, and a leader is in an optimal position to drive the emotional tenor.” (Daniel Goleman)

Ada sebuah kisah kepemimpinan yang menarik. Sewaktu Alexanders Agung mencoba menaklukkan dunia, berkali-kali ia dan tentaranya harus melewati gurun pasir yang tandus dan gersang. Suatu ketika, berhari-hari ia dan tentaranya berjalan melewati gurun dengan panas yang terik. Persediaan air mereka habis. Tentara kahausan dan beberapa diantaranya tak sanggup melanjutkan dan mati. Beberapa tentara mencoba berinisiatif mencari air, akhirnya dikumpulkanlah sisa air yang kurang lebih hanya ada secangkir. Karena mencintai Alexander, mereka memberikannya kepada ‘Sang Agung’ supaya tetap selamat. Ketika diberikannya kepada Alexander, air itu dibuangnya ke atas pasir. Lantas, Alexander Agung berkata, “Air ini tidak akan cukup untuk kita semua. Mari kita bersama lanjutkan perjalanan ini. Bersama-sama, kita akan melewati kesulitan ini”
Wow! Sebuah kepemimpinan yang –tidaklah mengherankan—menyebabkan anak buahnya rela ‘mati’ bersama dengannya. Kualitas kepemimpinan seperti Alexander Agung inilah yang secara khusus kita kategorikan sebagai bentuk kepemimpinan yang disebut Primal Leadership. Istilah ini diinspirasikan dari buku best seller karya Daniel Goleman bersama dua rekannya, Richard Botayzis serta Annie McKee. Daniel Goleman. Dalam buku tentang Primal Leadership ini, kembali Daniel Goleman mengangkat tema kepemimpinan yang memiliki “hati”.
Memang, dalam banyak ilustrasi antara “hati” dengan “otak” seringkali digambarkan sebagai burung dengan kedua sayapnya. Antara sayap “otak” dengan sayap “hati” dibutuhkan kerjasamanya agar seekor burung bisa terbang dengan seimbang.
Mengapa disebut sebagai “Primal Leadership”? Primal berasal dari kata “prima” atau utama. Dalam pola kepemimpinan Primal Leadership, hati dipercaya lebih banyak berpengaruh daripada otak atau logika. Sebagaimana dikatakan seorang pujangga Inggris, “Tanganmu tidak mampu meraih apa yang tidak diinginkan hatimu”. Lagipula, kita menyaksikan bahwa banyak pemimpin diteladani, diikuti dan menjadi inspirasi oleh karena “hatinya” yang merakyat, mengerti dan mengayomi. Sebaliknya, para pemimpin yang cuma berkata-kata tetapi dalam hatinya tidak memiliki rasa solidaritas, keinginan memahami dan berbela rasa, akhirnya akan ditinggalkan. Kisah Maria Antonnette dijaman revolusi Perancis adalah kisah seorang ratu yang hidupnya berakhir tragis. Saat dihukum pancung dengan pisau Gillottine, tidak ada satu rakyat Perancispun yang meratapinya karena selama ikut memerintah, ia dianggap sangat tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat dan tidak pernah peduli. Kita juga masih bisa mengingatkan berderet pemimpin yang berakhir dengan tragis karena keangkuhan, kesombongan, egoisme serta ketidakpeduliannya pada orang yang dipimpinnya. Keangkuhan Musolini di Italia misalnya, akhirnya dibayar dengan hukuman gantung baginya.
Rakyat, bawahan, pengikut, akan mendambakan memiliki seorang pemimpin yang mau mengerti dan berbela rasa kepada mereka. Bangsa kita sendiri pernah memiliki pemimpin sejati seperti jendral Sudirman yang dalam kondisi sakit, masih tetap bergerilya. Para prajurit dan rakyat, mencintainya.
Kualitas dan kompetensi kepemimpinan yang memahami kondisi anak buahnya, seringkali disebut dengan kualitas kepemimpinan yang ‘beresonansi’. Kata ‘resonansi’ sendiri, diambil dari istilah ilmu Fisika yang secara umum berarti, “ikut bergetar karena yang adanya sesuatu yang sedang bergetar”. Idealnya, seorang pemimpin yang beresonansi adalah pemimpin yang dapat turut merasakan ‘getaran’ perasaan, kepahitan serta jeritan “hati” anak buahnya.
Salah satu contoh cerita menarik adalah kisah di perusahaan SoundView saat masih dipimpin oleh Mark Loehr. Setelah kejadian tragis 11 September di WTC, banyak karyawannya yang berduka. Untuk itu, Mark Loehr secara khusus memberikan waktunya yang berharga untuk mendengarkan sharing perasaan karyawannya dan setiap malam jam 21.45, Mark Loehr mengirimkan email pribadi yang tujuannya memberikan dukungan moral bagi anak buahnya. Dan untuk lebih konkritnya, Mark Loehr bahkan memutuskan untuk mengumpulkan profit perusahaan satu hari yang diperuntukkan bagi karyawan yang terkena musibah. Pada hari yang ditentukan tersebut, mereka bahkan berhasil mengumpulkan 6 juta dollar, padahal biasanya profit mereka cuma setengah atau 1 juta dollar saja! Para karyawan bahkan customer, begitu bersimpati dengan apa yang dilakukan oleh SoundView. Mengenai pemimpin yang demikian tersebut ini, Mark Loehr pernah mengatakan, “Dalam kondisi kritis, semua orang berpaling kepada pemimpin untuk mendapatkan support emosional. Pastikan, jika Anda seorang pemimpin, Anda memberikannya pada saat-saat kritis seperti itu”
Lantas, bagaimanakah membangun kompetensi Primal Leadership ini? Untuk membangun kompetensi kepemimpinan yang “Primal” ini ada beberapa tahapan yang penting. Terkait dengan EQ, ditekankan mengenai 4 tangga EQ menuju puncak Primal Leadership:
Self Awareness
Tahapan ini merupakan elemen dasar bagi Kepemimpinan berdasarkan EQ. Penyadaran perasaan sendiri adalah kunci penyadaran bagi perasaan orang lain. McDonald, misalnya memiliki tradisi bahwa seorang pemimpin mestinya ikut merasakan menjadi janitor dan pembersih, dengan demikian ketika seseorang memimpin suatu cabang McDonald maka ia bisa turut merasakan bagaimana kesulitan, masalah dan beban pekerjaan seorang yang berada di level bawah seperti janitor. Disini kita melihat bahwa, kesadaran diri adalah awal bagi penyadaran keadaan orang lain. Banyak organisasi yang paham, bahwa untuk membangun seorang pemimpin yang baik, dibutuhkan pemimpin yang dapat memahami dan sadar dengan situasi anak buahnya. Tidak ada cara lain selain mencoba berlaku dalam posisi “anak buah itu sendiri”. Seringkali dikatakan, seorang pemimpin yang mendapatkan kuasanya dengan cara mudah, tidak pernah turut menderita akhirnya akan mudah main perintah, seenaknya dan mudah memanipulas
Emotional Management
Setelah menyadari, tugas seorang pemimpin adalah bagaimana ia mengontrol dan mengendalikan perasaannya. Ada saat-saat tertentu dimana seorang pemimpin akan mengalami banyak problem, kesulitan maupun stress akibat pekerjaan maupun akibat ulah anak buahnya. Pada saat-saat kritis dan sulit, seorang pemimpin ditantang untuk tetap berpikir jernih dan tidak kehilangan kendali atas emosinya. Seorang pemimpin akan kehilangan respek serta dicap dengan berbagai hal yang negatif tatkala kehilangan control atas emosinya. Mungkin masih segar dalam ingatan kita saat misalnya salah seorang Menteri dalam kabinet Megawati, kehilangan kontrol emosi dan mulai meledak-ledak dalam satu acara diskusi di suatu stasiun TV swasta. Bisa dibayangkan bagaimana image yang mungkin timbul atas Menteri ini pada jutaan rakyat Indonesia yang menyaksikannya.
Emotional Connection
Setelah sanggup mengendalikan dirinya, seorang pemimpin pun dituntut untuk mampu berelasi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Berelasi berarti berinteraksi agar mampu menghasilkan suatu tindakan yang positif. Agar berhasil, seorang yang baik harus mampu berempati, tahu kapan harus melakukan persuasi maupun kapan harus memberikan dorongan serta lebih banyak mendengarkan orang lain. Salah satu contoh permasalahan yang menarik adalah kisah yang dikutip oleh Daniel Goleman mengenai kejadian yang pernah dialami oleh salah satu divisi siaran di BBC yang harus ditutup oleh manajemennya. Saat itu, salah seorang pemimpinnya, tatkala mengumumkan penutupan divisi tersebut justru membangga-banggakan divisi siaran perusahaan lain yang baru dikunjunginya dan bernada arogan. Akibatnya, justru karyawan BBC yang ditutup memberikan reaksi perlawanan dan ketidaksenangannya karena ulah pimpinan tersebut. Dalam hal berelasi dengan orang lain, seorang pemimpin memahami bahwa apapun kata-kata maupun tindakannya akan berdampak besar kepada bawahannya. Karena itu, seorang pemimpin dengan level emotional connection yang baik, tahu apa perbedaan antara ditakuti serta dihargai. Para pemimpin yang efektif ini, mengerti bahwa untuk dihargai, tidaklah selalu harus ditakuti. Mereka tidak khawatir menunjukkan persaaan-perasaan mereka, tetapi justru dengan demikian mereka dipuja, dihargai dan sekaligus dicintai. Herb Kelleher, mantan CEO Southwest Airlines yang terkenal ‘koboi’ adalah contoh profil CEO dengan level emotional connection yang tinggi.
Personal Leadership
Tahapan ini merupakan tahapan kepemimpinan berlandaskan emosional tertinggi dimana seorang pemimpin mulai menggerakkan anak buahnya, memimpin tim, memberdayagunakan sumber daya kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam personal leadership inilah terletak style kepemimpinan yang dibangun. Style kepemimpinan ini bisa beragam bentuknya. Akan tetapi apapun style yang ditampilkan, mereka tetap memiliki kedekatan emosi yang baik dengan bawahannya. Sebagai contohnya dari seorang Walt Disney yang visioner, Bill Gates yang style-nya blak-blakan serta Jack Welch dari GE, yang sering dicap otoriter, semuanya menunjukkan pengalaman dimana mereka memiliki kualitas perhatian serta kedekatan emosional dengan bawahannya secara mendalam.
Dengan demikian, kita melihat bahwa Primal Leadership bukanlah suatu style leadership tertentu, tetapi merupakan suatu persyaratan utama yang harus dimiliki oleh setiap leader, apapun style yang diterapkan. Sebagaimana dikatakan oleh John Maxwell, maha guru “ledership” saat ini, “Satu-satunya cara seorang pemimpin membangun karisma adalah dengan mengambil hati bawahannya dan menaruhnya di level terdepan dalam hatinya”. Para pemimpin dengan jiwa kompetensi Primal Leadership ini, akhirnyalah yang sungguh akan dicintai. Ibarat perkawinan, dengan kemampuan seorang pemimpin untuk bisa merasakan apa yang dirasakan anak buahnya, mereka akhirnya akan tetap dicintai dalam kondisi suka maupun duka.
Sumber : hrexcellency.com


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More