"Siapa dan di mana keberadaan Anda sekarang ditentukan oleh tindakan atau keputusan Anda di masa lalu."
Percaya atau tidak dengan ungkapan tersebut, namun itulah yang dialami seorang bernama Purwanto yang lahir di desa Banjarsari, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak.
Dulu desanya belum dialiri listrik dan jalanannya masih tanah, sehingga setiap kali pergi ke sekolah Purwanto kecil harus menjinjing sepatunya dan mencuci kakinya sebelum naik angkutan pedesaan. Setelah lulus SD, ia memilih melanjutkan ke SMP, alih-alih Sekolah Teknik (ST). Padahal, teman-teman Purwanto umumnya lebih memilih ST karena lulusannya bisa langsung bekerja. Apakah alasannya? Purwanto kecil terinspirasi cerita sang ayah yang seorang pamong desa.
"Setiap kali ayah pergi bertemu pembesar, beliau pasti cerita tentang pembesar itu. "Tadi saya ketemu pembesar lulusan UGM atau Undip," kata Purwanto. Inilah yang melecut niat Purwanto kecil untuk mengikuti jejak para pembesar itu.
Upaya menimba ilmu yang lebih tinggi pun harus dilaluinya dengan penuh perjuangan. Tepat jam 5 pagi, Purwanto sudah berangkat sambil memikul kedelai untuk dititipkan ke pasar. Malam hari, ia harus pergi ke sawah untuk mengurus air, padahal teman-temannya mungkin tengah belajar atau sudah tidur. Kegiatan malam hari itu memang harus dilakukannya karena kala itu Waduk Kedungombo belum dibangun, sehingga air yang mengaliri sawah di desanya belum mencukupi.
Selepas SMA, meski lolos seleksi di tiga perguruan tinggi, Purwanto memilih masuk ke Teknik Kimia Undip pada 1980. Saat memasuki semester ke-3, kondisi sawah di desanya habis dimakan wereng. Hal ini menyentakkan Purwanto, sehingga membuatnya berjanji bahwa di semester 7 nanti ia bisa hidup mandiri dan tidak merepotkan orangtuanya lagi.
Janjinya terpenuhi ketika sudah menginjak semester 7. Ia menyambi kerja sebagai guru les. Saat itu, pekerjaan mengajar seperti itulah yang paling menjanjikan bagi mahasiswa karena belum banyak saingan. Bayangkan saja, hasil mengajar selama 2 bulan bisa dibelikan motor!
Selepas kuliah, ia tak menampik tawaran sebagai dosen tetap di almameternya. Padahal kebanyakan temannya lebih memilih bekerja di pabrik karena gajinya besar. Keputusan penting Purwanto kali ini didasarkan pada rasa penasarannya akan kehidupan orang Eropa dan kenapa bangsa Eropa bisa lebih maju.
"Menjadi dosen memang tidak bergaji besar, tapi berpeluang besar untuk dapat beasiswa belajar ke luar negeri," jelas sosok ramah kelahiran 28 Desember 1961 ini. Ternyata, perhitungan Purwanto tidak meleset. Ia mendapat beasiswa master di Prancis. Program yang diambilnya adalah program spesialis dan DEA (Diploma D'Etudes Approfondies) di bidang teknologi proses. Gelar doktoral pun diperolehnya di universitas yang sama.
Selama belajar di Prancis ini, rasa penasaran akan kemajuan bangsa Eropa terjawab. Ia menyimpulkan, semua orang itu pada dasarnya memiliki kemampuan yang bagus. Yang kemudian menjadikannya kurang bagus adalah tipisnya rasa percaya diri dan sifat malas.
Tercapainya cita-cita kuliah di luar negeri tak lantas mengakhiri perjuangan Prof. Dr. Ir. Purwanto, Dipl.EP, DEA ini. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian dan peran besar pada lingkungan hidup. Ia berpendapat sebaiknya kepentingan ekonomi dan lingkungan tidak dipertentangkan. Fokus kita bersama harusnya mengarah pada isu-isu seperti sustainability, atau keberlanjutan. Ini berarti pembangunan ekonomi seharusnya diimbangi dengan manfaat bagi lingkungan sekaligus manfaat sosial.
Kisah perjuangan panjang Prof. Dr. Ir. Purwanto ini seolah menegaskan bahwa suatu cita-cita setinggi apa pun bisa diraih dengan tindakan dan keputusan yang tepat di hari ini. Kondisi apa pun yang kita jalani, malang maupun beruntung, tak seharusnya menghalangi langkah maju kita menuju masa depan yang lebih baik.
Sumber : andriewongso.com